Difasilitasi AJI Palu, ‘Mengintip’ Dapur Redaksi Tempo (I)

waktu baca 3 menit
Ilustrasi

Difasilitasi , mewakili gemasulawesi saya menjadi salah satu dari tiga puluh jurnalis yang mendapatkan kesempatan ‘mengintip' dapur redaksi .

dan fellowship dilaksanakan bekerja sama dengan yayasan institute, tentu ini adalah kesempatan bagi saya yang masih perlu banyak belajar.

Difasilitasi , Trainer yang membawakan materi saat itu adalah, Mardiyah Chamim, Ahmad Arif dan Amantha Perera asal Srilanka. Mentornya ada dua, Ika Ningtyas Unggraini dan Neni Muhidin (belum hadir sih saat itu,red).

Dalam itu awalnya saya menerima materi yang tidak banyak berbeda dengan pengetahuan umum tentang jurnalis investigasi. Kebetulan selama jadi wartawan saya memang memiliki ketertarikan khusus pada jurnal investigasi.

Semakin lama materi yang dipaparkan semakin dalam, disitu saya melihat level mereka sangat jauh dalam hal profesionalisme kerja dibanding kita.

Bagi media sekelas , untuk menerbitkan satu berita ada beberapa proses penting harus dilalui.

Wartawan harus mengusulkan proposal pemberitaannya. Proposal itu, nantinya akan dipresentasikan didepan Redaktur pelaksananya. Dalam presentase proposal, wartawan harus mampu meyakinkan Redaktur pelaksana untuk menerbitkan tulisannya.

Poin itu berdasarkan pengalaman saya, sangat jarang kita lakukan. Umumnya yang saya dapatkan adalah perintah melisting berita dan tidak perlu mempresentasekannya di depan Redaktur pelaksana.

Alhasil, berita apapun yang dibawa pulang oleh wartawan selalu terbit, walaupun berita yang disetor melenceng dari listing beritanya sendiri.

Berikutnya, hal paling sering terjadi dalam lingkup media yang pernah saya lakoni, adalah wartawan malas menjemput bola.

Manajemen isunya, cenderung selalu harus diarahkan oleh Redaktur pelaksana baru si wartawan bisa melihat isu menarik.

Selain kedua persoalan itu, kelemahan paling fatal berdasarkan pengalaman pribadi saya sebagai wartawan di Sulawesi tengah adalah, wartawan jarang menguji kebenaran data atau informasi yang didapatkannya.

Tentu poin penting ini bagi media sekelas menjadi hal wajib, kenapa harus dilakukan uji kebenaran data? Ternyata jawabannya sederhana, itu dimaksudkan agar kita tidak terjebak dalam informasi ‘Hoax' atau melanggar kode etik jurnalis.

Seperti itulah pemahaman saya di hari pertama mengikuti . Kebetulan saat itu diperintahkan membuat kelompok dan kelompok saya, dimentori oleh Ika Ningtyas Unggraini.

Mentor saya, orangnya tenang dalam mengarahkan konsep berita dengan selalu menekankan kata ‘dipertajam'. Ya, memang style Tempo selalu seperti itu. Tidak suka basa basi, langsung to the point saja dalam menulis.

Hal itu penting, agar tidak bias isu yang akan kita tekankan dalam penulisan sebuah karya tulis, khususnya dalam hal pemberitaan.

Dalam perjalanan diskusi yang difasilitasi oleh AJI itu, mentor selalu mengarahkan pada kata bermakna ‘ tanda tanya', padahal umumnya kita kadang mengabaikan itu.

Kencenderungan saya sebagai wartawan adalah menjudge bukan bertanya, itu tentu pola yang sangat salah.

Berbekal kata tanya itulah sebuah proposal harusnya dimulai. Setelah itu, kita menyusun informasi awal dari berbagai sumber.

Selanjutnya, kita harus mengumpulkan data pendukung untuk menguatkan semua asumsi dari keseluruhan informasi yang telah kita susun sebelumnya.

Sederhana sekali kelihatannya pola investigasi seperti itu. Tetapi tentu semua wartawan investigasi akan mengetahui sangatlah sulit dalam prakteknya untuk memenuhi semua unsur itu dalam waktu singkat.

Mungkin sampai disitu saja dahulu, pembuka tulisan saya. Tentang kesan mengikuti yang difasilitasi oleh bekerja sama dengan yayasan .

Besok, disambung lagi dengan tulisan berikutnya tentu tidak kalah menariknya, karena materinya dibawakan oleh orang yang berbeda dan membahas isu Akuntabilitas Penanganan Bencana.

Laporan: Muhammad Irfan Mursalim


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.