Nasional, gemasulawesi - Baru-baru ini, dunia hukum di Indonesia dihebohkan oleh aksi cuti massal yang dilakukan oleh para hakim.
Aksi tersebut merupakan bentuk protes terhadap gaji yang stagnan selama 12 tahun.
Di Gedung DPR, perwakilan dari asosiasi hakim, Rangga, menyampaikan keluhan serius terkait kondisi keuangan mereka.
Rangga mengungkapkan bahwa hakim junior yang baru diangkat hanya menerima gaji bersih sekitar Rp 12 juta per bulan. Rincian tersebut meliputi gaji pokok yang hanya sebesar Rp 3,5 juta dan tunjangan sekitar Rp 8,5 juta.
Dampak dari besaran gaji yang diterima semakin terasa, terutama dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Rangga menggambarkan situasi ini dengan analogi, "Gaji kami saat ini bisa diibaratkan seperti uang jajan Rafathar selama tiga hari."
Rafathar merupakan anak dari selebritas Raffi Ahmad yang hidup dalam kemewahan. Dengan demikian, perbandingan tersebut menunjukkan betapa beratnya beban hidup para hakim yang harus menanggung keluarga.
Sebagai respons atas ketidakpuasan ini, hakim di seluruh Indonesia melakukan aksi cuti massal dari 7 hingga 11 Oktober 2024.
Baca Juga:
Lima Perampok Ojol di Jakarta Barat Dibekuk, Polisi Sita Airsoft Gun dan Barang Bukti Ini
Tuntutan mereka adalah kenaikan gaji sebesar 142 persen, yang dianggap perlu untuk mencukupi kebutuhan hidup yang layak.
Mereka merasa pekerjaan sebagai hakim tidak hanya berat dalam tanggung jawab, tetapi juga memerlukan imbalan yang sepadan.
Rangga menegaskan bahwa mereka ingin agar pemerintah memberikan perhatian yang lebih terhadap kesejahteraan hakim yang menjaga keadilan di negeri ini.
Merujuk kepada Peraturan Pemerintah (PP) No. 94 Tahun 2012, gaji pokok hakim terendah dimulai dari Rp 2.064.100 per bulan untuk golongan IIIA.
Sementara itu, gaji tertinggi bagi hakim golongan IVE hanya mencapai Rp 4.978.000. Meskipun demikian, tunjangan jabatan juga bervariasi.
Tunjangan terendah untuk hakim di pengadilan kelas II sebesar Rp 8,5 juta, sedangkan tunjangan tertinggi yang diterima oleh Ketua Pengadilan tingkat banding bisa mencapai Rp 40,2 juta.
Selain gaji pokok, hakim juga berhak atas tunjangan lainnya, termasuk tunjangan keluarga, tunjangan beras, dan tunjangan kemahalan.
Tunjangan kemahalan, terutama untuk daerah-daerah tertentu seperti Papua dan Maluku, dapat mencapai Rp 10 juta.
Meskipun begitu, banyak hakim yang merasa gaji mereka masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, terutama di tengah meningkatnya biaya hidup.
Kondisi ini telah menarik perhatian publik, dengan banyak orang berpendapat bahwa gaji hakim yang diprotes jauh lebih tinggi dibandingkan dengan guru honorer.
Beberapa netizen mengungkapkan bahwa para guru juga harus diperhatikan, mengingat mereka memiliki peran penting dalam mencerdaskan bangsa namun mendapatkan imbalan yang jauh lebih rendah.
Banyak yang mengingatkan bahwa meskipun para hakim memiliki tanggung jawab besar, guru honorer juga tidak kalah pentingnya dalam menjalankan tugas mereka.
Dalam berbagai komentar di media sosial, terlihat adanya perbandingan yang mencolok antara gaji hakim dan guru honorer.
"12 juta ngeluh apakabar guru honorer yang cuma 200-300rb, gak malu apa sama guru honorer," ungkap salah seorang warganet.
Beberapa pengguna media sosial menegaskan bahwa guru honorer, yang gajinya sering kali tidak mencukupi, seharusnya mendapatkan perhatian lebih dalam hal kesejahteraan.
Aksi mogok yang dilakukan hakim justru menjadi pengingat bagi semua pihak akan pentingnya keadilan dalam penetapan gaji di semua sektor.
Diharapkan pemerintah dapat segera mendengarkan suara mereka dan mengambil langkah-langkah konkret untuk meningkatkan kesejahteraan di sektor publik, sehingga semua profesi yang memiliki tanggung jawab besar dapat dihargai secara adil. (*/Shofia)