Nasional, gemasulawesi – Pada tanggal 16 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi yang diketuai oleh Anwar Usman mengejutkan publik dengan mengabulkan batasan usia capres dan cawapres menjadi di bawah 40 tahun jika telah atau sedang menjadi kepala daerah yang dipilih melalui pemilu.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini dianggap membuka jalan untuk Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres Prabowo Subianto yang diumumkan di tanggal 23 Oktober 2023 lalu.
Namun, masyarakat dan beberapa elemen masyarakat yang merasa jika putusan itu janggal tidak tinggal diam dan melaporkan para Hakim Konstitusi yang dianggap melanggar kode etik.
Diketahui jika Anwar Usman selaku Ketua MK merupakan adik ipar Jokowi dan juga paman Gibran Rakabuming Raka yang membuat dugaan kuat terdapatnya konflik kepentingan untuk putusan ini.
Menanggapi berbagai protes dari masyarakat, MK kemudian membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang telah menyelenggarakan beberapa kali pemeriksaan terhadap para Hakim Konsitusi.
Menurut laporan, jumlah laporan dari masyarakat sendiri bertambah menjadi 21 perkara.
Namun, putusan MKMK yang akan diumumkan di tanggal 7 November 2023 besok akan sesuai dengan jumlah Hakim Konsitusi yang dilaporkan dan bukan berdasarkan banyaknya jumlah laporan.
MKMK sendiri diketuai oleh Jimly Asshiddiqie.
Saat dimintai tanggapannya, ahli hukum yang juga dosen dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STH),Bivitri Susanti, menyatakan setidaknya ada 2 kemungkinan hasil putusan MKMK besok.
Terutama yang mengajukan laporan terhadap Anwar Usman sebagai Ketua MK.
Yang pertama, jika MKMK tidak akan membatalkan putusan yang bernomor 90/PUU-XXI/2023, namun bisa saja dalam putusan itu MKMK akan meminta MK untuk memeriksa kembali perkara yang sama dengan komposisi hakim konstitusi yang berbeda.
“Ini karena diasumsikan Ketua MK telah dicopot dari jabatan strukturalnya ataupun Hakim Konstitusi,” jelasnya.
Bivitri menambahkan jika sesuai aturan, 8 Hakim Konstitusi yang tersisa dapat menggelar persidangan yang dimaksud.
Yang kedua, menurut Bivitri adalah jika MKMK tidak menjatuhkan sanksi pelanggaran etik, maka itu seolah mengkonfirmasi yang selama ini telah menjadi topik hangat tentang putusan MK belakangan ini.
“Negara hukum dalam bahaya karena MK tidak lagi menjadi wasit yang seharusnya netral, tapi malah menjadi pemain,” terangnya.
Bivitri melanjutkan hasilnya masyarakat semakin tidak mempercayai lembaga hukum. (*/Mey)