Internasional, gemasulawesi – Di bulan Juni 2021, lembaga penyiaran publik Israel, Kan, mengumumkan bahwa militer Israel akan menghentikan praktek penggerebekan yang telah berlangsung lama dan juga kontroversial terhadap rumah-rumah milik warga Palestina.
Praktek penggerebekan tersebut diketahui oleh militer Israel disebut sebagai pemetaan intelijen.
Proses tepatnya adalah tentara Israel akan memaksa masuk ke rumah-rumah warga Palestina setiap malamnya untuk mendaftarkan rumah tangga dan menguraikan bangunan tersebut yang disebut menjadi kebijakan Israel.
Namun, tindakan ini membuat tentara Israel terus-menerus mendapatkan tekanan dari beberapa kelompok Hak Asasi Manusia yang mengutuk praktek militer tersebut.
Laporan yang diterbitkan mereka juga mencakup kesaksian dari keluarga-keluarga Palestina serta dari tentara dan komandan yang terlibat dalam penggerebekan tersebut.
Jika dirinci, maka laporan tersebut mengungkapkan konsekuensi psikologis yang parah pada individu, keluarga dan masyarakat Palestina secara luas.
Dikatakan jika keputusan tersebut diambil karena kemajuan teknologi yang memungkinkan pengawasan terhadap warga Palestina tanpa masuk secara fisik ke dalam rumah.
Mengetahui hal ini, sebenarnya penerapan teknologi baru oleh Israel untuk mempertahankan kendali atas warga Palestina bukanlah hal yang baru.
Namun, disebutkan jika ini merupakan pergeseran dari praktek pengawasan dan intimidasi tradisional ke praktek digital yang semakin meningkat.
Baca: Dibombardir dengan Membabi Buta, Rakyat Palestina yang Tewas Tembus Angka 16 Ribu Jiwa
Laporan lain menyatakan jika otomatisasi pendudukan Israel yang sedang berlangsung.
Israel sendiri telah lama dituduh menggunakan Tepi Barat yang mereka duduki sebagai tempat uji coba untuk mengembangkan teknologi baru sebelum memasarkannya ke luar negeri.
Israel juga diketahui menggunakan dan menempatkan drone pada protes Palestina untuk mengawasi kerumunan warga Palestina atau menjatuhkan gas air mata dalam jumlah besar.
Seorang aktivis Israel menyatakan jika drone yang dapat berbicara itu menyuruhnya untuk pulang dan jangan berdiri melawan musuh.
Baru-baru ini, kebijakan prediktif terhadap warga Palestina dan konten online Palestina telah memicu kemarahan publik dan global.
Unit siber Israel yang terkenal telah secara sistematis bekerja sama dengan perusahaan teknologi besar, termasuk Instagram, Twitter dan Facebook.
Dalam penelitiannya mengenai dampak Israel terhadap hak-hak digital Palestina, analis kebijakan, Dr Nijmeh Ali, menyampaikan penting untuk menempatkan Palestina dalam upaya internasional untuk melindungi hak-hak digital.
“Dan juga untuk melindungi kebebasan sipil,” katanya. (*/Mey)