Nasional, gemasulawesi - Menteri Agama (Menag) K. H. Yaqut Cholil Qoumas, berbicara tentang pentingnya pengucapan salam enam agama sebagai bentuk menjaga toleransi di Indonesia.
Menag Yaqut menanggapi putusan dari Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII yang mengharamkan muslim untuk mengucapkan salam berdimensi doa milik agama lain.
Menurut Menag, pengucapan salam enam agama merupakan praktik baik yang bertujuan untuk menjaga toleransi antaragama.
Hal ini tidak selalu harus dikaitkan dengan aspek ibadah atau keagamaan secara langsung.
Menurutnya, ada aspek sosiologis yang perlu dipertimbangkan, bukan hanya aspek teologis.
"Salam enam agama, itu kan praktik baik untuk menjaga toleransi, tidak semuanya harus dikaitkan dengan hal ihwal ubudiyah. Jadi jangan dilihat dari sisi teologis lah gitu, tapi ada sisi sosiologis yang harus dipertimbangkan," ujarnya.
Dia juga meyakini bahwa pengucapan salam berdimensi doa milik agama lain tidak akan mengganggu keimanan seorang muslim atau keimanan seorang nonmuslim.
Menurutnya, salam beda agama bukanlah upaya untuk mencampuradukkan akidah, melainkan sebuah bentuk penghormatan dan toleransi antaragama.
"Jadi, saya rasa tidak semuanya harus dibicarakan dalam konteks teologis. Ada aspek sosiologis yang juga perlu dipertimbangkan, terutama dalam konteks keberagaman budaya, kepercayaan, ras, dan agama di Indonesia. Penting untuk saling menghormati dan memperlakukan dengan cara yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut, sehingga tidak perlu dipermasalahkan," tambahnya.
Sementara itu, putusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII menyatakan bahwa pengucapan salam merupakan doa yang bersifat ibadah.
Jadi, menurut putusan tersebut, pengucapan salam harus sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Salam yang mengandung dimensi doa dari agama lain dilarang bagi umat Islam.
Namun, Menteri Agama menegaskan bahwa salam berdimensi doa milik agama lain bukanlah upaya untuk mencampuradukkan keyakinan atau akidah.
Hal ini dianggap sebagai bentuk penghormatan dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
Sebelumnya, dalam fatwa baru MUI tersebut, Prof. Asrorun Niam, sebagai Ketua MUI Bidang Fatwa, menyoroti pentingnya pengucapan salam dalam Islam sebagai lebih dari sekadar ucapan harian, melainkan sebagai doa yang memiliki dimensi peribadatan.
Ini mengisyaratkan bahwa setiap kata yang diucapkan memiliki nilai spiritual yang dalam dalam konteks agama.
Fatwa ini memberikan solusi konkret bagi umat Islam yang ingin menjaga kebersihan makna pengucapan salam, dengan memberikan alternatif pengucapan seperti ‘Assalamualaikum’, salam nasional, atau salam yang tidak terkait dengan dimensi agama lain, seperti ‘selamat pagi’.
Tindakan ini mencerminkan kehati-hatian dan kejelasan dalam menghadapi perubahan zaman yang sering kali membawa dinamika baru dalam praktik keagamaan. (*/Shofia)