Berita parigi moutong, gemasulawesi– DPRD Parigi Moutong Sulawesi Tengah meminta Pemda menimbang kembali usulan tarif retribusi layanan kesehatan Parimo.
“Ranperda untuk retribusi layanan kesehatan Parimo, ada beberapa item objek retribusi diusulkan mendapatkan kenaikan, bahkan hingga 100 persen,” ungkap anggota Pansus Retribusi daerah DPRD Parigi Moutong Fadli, saat rapat bersama manajemen rumah sakit, Bagian Kumdang Setda Parimo dan perancang Perda Parimo, di gedung DPRD Parimo, Kamis 23 Juli 2020.
Baca Juga: Alumni SMPN 1 Balinggi Salurkan Bantuan Korban Banjir Parigi Moutong
Sehingga, Pansus meminta Pemda harus memperjelas kenaikan retribusi daerah itu. Pasalnya, berdasarkan Peraturan daerah tahun 2016 dan Ketetapan Perbup tahun 2018. Sudah ada selisih yang sangat besar dalam Ranperda yang diajukan.
Pertimbangan itu kata dia, tentunya mengantisipasi jangan sampai biaya kesehatan di Parigi Moutong menjadi lebih mahal dibandingkan dengan daerah lainnya.
“Beberapa waktu lalu kami sempat studi komparasi di Kabupaten Poso. Ditemukan fakta, ada beberapa warga Poso yang sudah ditopang BPJS dan sebagian lagi warga miskin dibantu melalui Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM),” tuturnya.
Menurutnya, untuk menaikkan retribusi biaya kesehatan di Parigi Moutong mesti penuh dengan pertimbangan.
Sebab, Pemda mesti mempertimbangkan faktor kondisi perekonomian di tengah warga saat ini. Apalagi, dengan wabah virus corona yang masih menghantui dalam kehidupan sehari-hari.
“Kondisi perekonomian warga sedang kesusahan. Kalau Pemda dan DPRD dalam merancang tarif retribusi layanan kesehatan di rumah sakit tidak melihat kondisi terkini, maka dipastikan akan mencekik kehidupan mereka,” urainya.
Lebih memberatkan lagi, jika warga sudah tidak memiliki BPJS ataupun tidak masuk dalam program jaminan kesehatan warga seperti Jamkesda.
Kesehatan itu kata dia, adalah kebutuhan dasar warga. Sehingga, tidak bisa mahal, mesti tetap relevan dengan kondisi warga.
“Namun, kami juga harus juga tetap memperhatikan potensi pendapatan,” jelasnya.
Disisi lain, pihaknya secara pribadi sebagai anggota Pansus tidak sepakat, jika menjadikan kebutuhan layanan dasar kesehatan, sebagai ujung tombak meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Karena, pada dasarnya yang menjadi objek retribusi pada kebutuhan layanan dasar kesehatan adalah orang yang sedang terkena musibah.
“Saat ini, kami masih mencari perbandingan dengan daerah lainnya, terkait dengan tarif retribusi layanan kesehatan,” terangnya.
Kemudian, pihaknya masih meminta penjelasan kembali kepada Pemda, pada pertemuan Pansus selanjutnya. Tentang relevansi menaikkan tarif itu.
Menurutnya, menaikkan tarif retribusi layanan kesehatan, tidak hanya berpatokan pada besaran jasa medik. Namun juga tetap memperhatikan kondisi perekonomian warga.

Sementara itu, Ketua Perancang Perda yang juga pimpinan Tim Eksekutif Pemda pada pembahasan Perda Ahrianto mengatakan, pihaknya tidak memasukkan RS Raja Tombolotutu pada pembahasan Ranperda Retribusi karena sedang dalam proses BLUD.
“Kami pikir RS. Raja Tombolotutu masih ideal menggunakan Perda nomor 13 tahun 2014,” jelasnya.
Apabila pembahasan itu dipaksakan kata dia, maka dikhawatirkan setelah disahkan dan dilaksanakan pada tahun 2021. Maka, akan merubah Perda. Sementara, RS. Raja Tombolotutu sudah menjadi BLUD.
Pihaknya memahami pandangan Pansus DPRD untuk menimbang kembali kenaikan retribusi layanan kesehatan pada usulan Ranperda.
Namun, pengusulan tarif layanan kesehatan Ranperda itu, berdasarkan pada penetapan tarif sebelumnya.
“Ada potensi baru dari daerah yang menjadi kewenangan yang belum diatur,” tuturnya.
Dan penentuan tarif itu kata dia, juga berdasarkan implementasi retribusi di RSUD Anuntaloko.
Kemudian, Perda ini adalah sesuatu yang baru. Sebelumnya, terdapat tiga Perda yang mengatur terkait hal itu. Yaitu, ada jasa umum, jasa usaha dan perizinan.
“Makanya, dengan ini akan disatukan jasa layanan ketiganya dalam satu Ranperda,” tutupnya.
Laporan: Muhammad Rafii