Hukum, gemasulawesi - Praktik mafia tanah yang melibatkan penipuan dan penggelapan terhadap tanah milik warga di Kabupaten Salatiga baru-baru ini terungkap dengan penangkapan tiga tersangka oleh Polda Jawa Tengah.
Kasus ini mencuat setelah penyidik berhasil mengungkap modus operandi sindikat mafia tanah yang telah merugikan banyak pemilik tanah seperti petani di Salatiga khususnya.
Menurut Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, sindikat mafia tanah ini beroperasi dengan cara yang sangat terstruktur.
Tersangka DI, yang menggunakan identitas palsu sebagai Edward Setiadi, berkolaborasi dengan NR yang berpura-pura sebagai notaris.
Bersama mereka, AH juga terlibat dalam operasi ilegal ini. Modus operandi mereka melibatkan penipuan pembelian tanah di Desa Bendosari, Kelurahan Kumpulrejo, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga.
Para pelaku menawarkan uang muka sebesar Rp10 juta untuk setiap bidang tanah dan meminta pemilik tanah membuka rekening di Bank Mandiri untuk pembayaran angsuran.
Mereka mengklaim bahwa transaksi tersebut dilakukan atas nama AH, yang mereka sebut sebagai anak pengusaha rokok ternama, Sampoerna, untuk meyakinkan pemilik tanah bahwa pelunasan akan dilakukan sesuai kesepakatan.
Setelah memperoleh sertifikat tanah, pelaku meminta pemilik tanah untuk menandatangani kertas kosong yang kemudian digunakan untuk pembuatan Akta Pengakuan Hutang di hadapan notaris.
Setelah mendapatkan sertifikat tanah, para tersangka memproses balik nama sertifikat tersebut menjadi atas nama AH tanpa izin dari pemilik tanah.
Proses ini dilakukan melalui notaris dan PPAT NGILMA KHOIRUNNISA, S.H., M.Kn., yang juga terlibat dalam dokumen-dokumen ilegal tersebut.
Sertifikat yang telah dibalik nama kemudian digunakan sebagai agunan kredit modal kerja oleh AH melalui PT CGP di Bank Mandiri Semarang, dengan nilai agunan mencapai Rp25 miliar.
Kejadian ini terungkap ketika pada tahun 2018, Bank Mandiri mendatangi lokasi tanah untuk melakukan pengukuran karena angsuran kredit tidak dibayar.
Hal ini menyebabkan pemilik tanah menyadari adanya permasalahan.
Ketika pihak bank datang untuk mengukur tanah, pemilik tanah yang belum menerima pelunasan penuh mulai mencurigai adanya penipuan.
Mereka mendapati bahwa sertifikat tanah mereka telah beralih nama tanpa sepengetahuan mereka.
Polda Jateng mengungkapkan bahwa tindakan mafia tanah ini melibatkan tanah seluas 26.933 m² dengan nilai sekitar Rp9.326.198.750 dari 11 petani yang menjadi korban.
Sehingga total kerugian dari petani dan bank jika dijumlahkan menjadi sekitar Rp34 miliar lebih.
Ketiga tersangka, DI, NR, dan AH, kini diancam dengan Pasal 378 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan/atau Pasal 266 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 7 tahun penjara.
Kasus ini menunjukkan pentingnya kewaspadaan dalam transaksi properti dan perlunya verifikasi legalitas untuk mencegah penipuan serupa di masa depan.
Kombes Pol Artanto juga menegaskan bahwa pihaknya akan terus mendalami kasus ini untuk mengungkap jaringan mafia tanah lainnya yang mungkin masih beroperasi di wilayah Jawa Tengah.
Masyarakat diimbau untuk selalu berhati-hati dan melakukan pengecekan legalitas ketika melakukan transaksi tanah.
Selain itu, mereka diharapkan segera melapor ke pihak berwajib jika menemukan indikasi penipuan atau ketidakberesan dalam proses jual beli tanah.
Dengan kewaspadaan dan kerjasama antara masyarakat dan penegak hukum, diharapkan praktik mafia tanah seperti ini dapat diberantas hingga tuntas. (*/Shofia)