Berita kota palu, gemasulawesi– Pemerintah Kota Palu Sulawesi Tengah usulkan Bukit Salena sebagai tujuan pengembangan ecotourism.
“Pasca terjadinya bencana alam 2018 silam, Kota Palu membutuhkan ruang dan kawasan baru sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru melalui pengelolaan sumber daya alam,” ungkap Wali Kota Palu, Drs. Hidayat, saat mengikuti rapat uji konsistensi penelitian terpadu perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam rangka review RTRWP Sulawesi Tengah, Senin 20 Juli 2020.
Ia melanjutkan, sumber daya alam itu tentunya yang memiliki nilai ekonomis dan pengembangan kewilayahan. Berdasarkan pembangunan empat dimensi ruang kawasan antara lain dimensi teluk, sungai, bukit dan dimensi gunung.
Salah satu kawasan yang diusulkan Pemkot Palu adalah Bukit Salena di kelurahan Buluri untuk pengembangan ecotourism yang mendukung pengembangan ekonomi micro di Kota Palu.
Selain itu, juga sebagai penyangga hutan lindung yang semakin tergerus pertambangan Galian C.
“Apalagi, lokasi Salena telah memiliki masterplan dan sudah ada dalam alokasi APBD dan RPJMD,” urainya.
Tak hanya Salena, Pemerintah Kota Palu juga sementara mengembangkan kawasan ecotourism Uwentumbu dan Taman Hutan Kota Kaombona.
Serta kata dia, akan membuka kawasan agrowisata pertanian di kecamatan Palu Utara dan Tawaeli sebagai destinasi wisata alam.
Kegiatan yang berlangsung di Hotel Santika Premiere Slipi Jakarta itu, dilaksanakan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Sementara itu, dalam bahasa Indonesia istilah ecotourism diterjemahkan menjadi “Ekowisata”, yaitu sejenis pariwisata yang berwawasan lingkungan.
Maksudnya, melalui aktiitas yang berkaitan dengan alam, wisatawan diajak melihat alam dari dekat, menikmati keaslian alam dan lingkungannya sehingga membuatnya tergugah untuk mencintai alam. Semuanya ini sering disebut dengan istilah Back To Nature.
Berbeda dengan pariwisata yang biasa kita kenal, ekowisata dalam penyelenggaraannya tidak menuntut tersedianya fasilitas akomodasi yang modern atau glamour yang dilengkapi dengan peralatan yang serba mewah atau bangunan artifisial yang berlebihan.
Pada dasarnya, ekowisata dalam penyelenggaraannya dilakukan dengan kesederhanaan, memelihara keaslian alam dan lingkungan, memelihara keaslian seni dan budaya, adat-istiadat, kebiasaan hidup (the way of life), menciptakan ketenangan, kesunyian, memelihara flora dan fauna, serta terpeliharanya lingkungan hidup sehingga tercipta keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam sekitarnya.
Misalnya, Pulau Kotok salah satu pulau dalam kelompok Pulau Seribu di Utara Jakarta. Pulau itu ditata sedemikian rupa sehingga kelihatan tidak pernah mendapat sentuhan dunia modern.
Di situ tidak ada listrik, tidak ada radio atau TV, bahkan koran dan majalah juga tidak disediakan. Pohon-pohon tidak boleh ditebang sembarangan dan ranting tidak boleh dipatah.
Binatang tidak boleh dibunuh, kalau ada sarang jatuh dengan anak atau telurnya, harus dikembalikan ke tempat semula.
Wisarawan yang darang ke sana tidur di rumah-rumah persis seperti rumah rakyat biasa, mandi pakai gayung, WC (sedikit dimodifikasi), kursi dan balai-balai untuk tempat istirahat. Jalan setapak juga tidak diaspal, tetapi diatur secara rapi dan bersih dan pendatang tidak boleh membuang sampah sembarangan.
Jadi, ekowisata bukan jenis pariwisata yang semata-mata menghamburkan uang atau pariwisata glamour, melainkan jenis pariwisata yang dapat meningkatkan pengetahuan, memperluas wawasan, atau mempelajari sesuatu dari alam, flora dan fauna, atau sosial-budaya etnis setempat.
Dalam ekowisata ada empat unsur yang dianggap amat penting, yaitu unsur pro-aktif, kepedulian terhadap pelestarian lingkungan hidup, keterlibatan penduduk lokal, unsur pendidikan.
Wisatawan yang datang tidak semata-mata untuk menikmati alam sekitarnya tetapi juga mempelajarinya sebagai peningkatan pengetahuan atau pengalaman.
Ecotourism adalah pariwisata yang berwawasan lingkungan dan pengembangannya selalu memperhatikan keseimbangan nilai-nilai.
Sehingga kata Emil Salim, lingkungan alam dan kekayaan budaya adalah aset utama pariwisata Indonesia yang harus dijaga agar jangan sampai rusak atau tercemar.
Laporan: Muhammad Rafii