Bogor, gemasulawesi - Pemerintah Kabupaten Bogor sedang menghadapi tantangan yang signifikan dalam menertibkan pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Jalan Raya Puncak, Bogor, Jawa Barat.
Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan tata ruang, keamanan, dan kenyamanan di salah satu kawasan wisata terkenal di Indonesia yakni Puncak, Bogor.
Sejak tahap pertama penertiban yang berhasil menyingkirkan 329 kios PKL, Pemkab Bogor kini memasuki tahap kedua dengan menargetkan 194 kios untuk direlokasi atau dibongkar.
Pj Bupati Bogor, Asmawa Tosepu, memimpin proses ini dengan memastikan bahwa prosedur administratif termasuk teguran tertulis kepada PKL telah dilakukan sebelum pelaksanaan penertiban.
Menurutnya, langkah ini diperlukan untuk merapikan kawasan yang selama ini sering kali menjadi sorotan atas ketidakteraturan dan potensi gangguan terhadap pengunjung.
"Informasi dari Satpol PP, penertiban dilakukan untuk 194 bangunan," ujar Asmawa Tosepu.
Dia juga menambahkan bahwa rencana relokasi PKL tahap kedua saat ini sedang dalam proses administrasi untuk memberikan teguran tertulis kepada para pedagang yang terkena dampaknya.
Proses penertiban ini tidak berjalan mulus tanpa tantangan.
Sejumlah pedagang mungkin merasa terganggu dan kehilangan tempat mereka berjualan yang telah mereka kelola selama bertahun-tahun.
Respons dari sebagian pedagang tersebut menunjukkan adanya ketidaksetujuan dan ketidakpuasan terhadap keputusan ini, meskipun tujuannya adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan menata ruang secara lebih teratur.
Rencananya, penertiban PKL tahap kedua ini akan dilakukan paling lambat 25 Agustus 2024.
Pemkab Bogor meyakini bahwa relokasi PKL ke Rest Area Gunung Mas dapat memberikan solusi yang lebih baik.
Rest Area ini, dengan luas 7 hektare yang dimiliki oleh PT Perkebunan Nusantara VIII, telah direncanakan dan dibangun sejak tahun 2020-2021.
Rest Area Gunung Mas memiliki kapasitas hingga 516 kios, dengan pembagian 100 kios untuk pedagang basah seperti sayur dan buah, serta 416 kios untuk pedagang kering seperti oleh-oleh dan camilan.
Setiap kios memiliki luas 11 meter persegi, baik untuk jenis basah maupun kering, sehingga diharapkan dapat memberikan fasilitas yang lebih baik bagi PKL dan pengunjung.
Namun demikian, tantangan nyata terletak pada implementasi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak terkait.
Masalah ekonomi sosial, seperti nasib penghasilan pedagang setelah relokasi, serta masalah sosial yang timbul dari ketidakpuasan dan perubahan dalam pola interaksi sosial di kawasan tersebut, juga menjadi perhatian utama dalam proses ini.
Penertiban ini juga menyoroti pentingnya koordinasi yang baik antara pemerintah daerah, pemilik usaha, dan masyarakat dalam menjaga keseimbangan antara pengembangan pariwisata dan keberlanjutan lingkungan serta kehidupan sosial ekonomi lokal.
Langkah-langkah ini tidak hanya sekadar regulasi dan penataan fisik ruang, tetapi juga tentang membangun solusi yang inklusif dan berkelanjutan untuk semua pihak yang terlibat. (*/Shofia)