Bali, gemasulawesi - Kasus praktik pinjam nama, atau yang lebih dikenal dengan istilah nominee, di Bali kini menjadi sorotan utama publik dan pihak berwenang.
Fenomena ini melibatkan Warga Negara Asing (WNA) yang menggunakan nama Warga Negara Indonesia (WNI) di Bali untuk memperoleh hak atas tanah, suatu praktik yang berpotensi menimbulkan konflik hukum dan sosial yang signifikan di masa depan.
Ketidakberesan ini kini mendapatkan perhatian serius setelah Anggota Komisi II DPR RI, Ongku P. Hasibuan, mengungkapkan dampak serius dari praktik WNA di Bali tersebut.
Ongku P. Hasibuan mengungkapkan bahwa praktik pinjam nama ini dapat diibaratkan sebagai 'bom waktu' yang siap meledak jika tidak ditangani dengan benar.
Ongku menjelaskan bahwa masalah ini berpotensi menciptakan konflik yang luas.
Ia memberikan contoh konkret mengenai situasi di mana seorang WNA yang memiliki partner WNI untuk kepemilikan tanah mungkin menghadapi masalah hukum besar jika terjadi perselisihan di kemudian hari.
"Jika hubungan bisnis mereka berakhir atau mereka mengalami perselisihan, hal ini bisa memicu masalah hukum dan sosial yang kompleks," ujarnya.
Kekhawatiran ini semakin diperkuat oleh laporan terbaru dari Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Denpasar.
Laporan tersebut mencatat adanya 3.000 sertifikat tanah yang dikenal sebagai “melayang”, yaitu sertifikat sah yang tidak memiliki informasi mengenai lokasi tanahnya.
Dari jumlah ini, 50 sertifikat diidentifikasi sebagai nominee, yang berarti nama WNI digunakan secara tidak sah untuk mengklaim kepemilikan tanah atas nama WNA.
Ongku menekankan, "Kami sangat khawatir bahwa di antara sertifikat tanah melayang tersebut masih terdapat nominee-nominee lainnya yang belum terdeteksi. Ini adalah masalah serius yang harus segera diatasi untuk mencegah dampak lebih lanjut."
Perjanjian pinjam nama sering kali digunakan untuk menyiasati aturan yang melarang WNA memiliki tanah secara langsung di Indonesia.
Dengan menggunakan nama WNI dalam akta jual beli, praktik ini tampak sah secara hukum, padahal sebenarnya melanggar ketentuan yang berlaku. Hal ini menciptakan celah hukum yang bisa dimanfaatkan untuk memindahkan hak milik tanah secara tidak sah, dan semakin memperburuk situasi kepemilikan tanah yang sudah rumit di Bali.
Ongku P. Hasibuan juga memberikan apresiasi kepada Kantah Provinsi Bali dan Kantah Kota Denpasar atas upaya mereka dalam menangani masalah pertanahan.
Ia mengungkapkan dukungannya terhadap langkah-langkah yang telah diambil dan berharap masalah nominee dapat segera diselesaikan.
"Kami akan terus mendukung upaya penyelesaian masalah pertanahan ini agar pengelolaannya dapat lebih baik ke depannya. Kita perlu langkah-langkah yang konkret dan efektif," tegas Ongku.
Selain dampak hukum, praktik pinjam nama ini juga berpotensi mengancam keaslian budaya lokal dan keberlanjutan sosial di Bali.
Bali, yang terkenal dengan keunikan budaya dan adat istiadatnya, menghadapi risiko kerusakan jika masalah ini tidak ditangani dengan cepat.
Kepemilikan tanah yang tidak jelas dapat mengancam integritas komunitas lokal, serta mengubah lanskap budaya yang telah ada selama berabad-abad.
Oleh karena itu, penanganan yang cepat dan efektif sangat penting untuk melindungi hak-hak penduduk lokal dan menjaga keunikan budaya Bali. (*/Shofia)