Kupas Tuntas, gemasulawesi - PT Produksi Film Negara atau sering disingkat PFN telah memperkenalkan pendekatan baru dalam membuat film.
Mereka memperkenalkan pendekatan produksi virtual dalam lokakarya yang bertajuk Virtual Production Unveiled pada 16 Juli 2025 yang lalu di Blackbox Studio PFN Heritage, Jakarta Timur.
Produksi virtual adalah metode pembuatan film di mana syuting dilakukan di dalam studio dengan latar digital yang bergerak secara real time.
Ini membuat suasana dan lokasi dalam film terlihat kompleks dan berbeda tanpa harus berpindah tempat, membuat waktu dan biaya produksinya lebih efisien.
Melalui pendekatan baru ini, PFN ingin mendorong transformasi dalam industri perfilman Indonesia, agar bisa bersaing di tingkat internasional.
Film yang mereka gunakan untuk proyek ini adalah film Menuju Pelaminan, yang diproduksi dengan dukungan dari Indonesia Film Financing atau IFF.
Menuju Pelaminan direncanakan untuk tayang pada tanggal 16 Oktober 2025 mendatang, dan film ini akan menjadi penerapan produksi virtual berskala nasional pertama di Indonesia.
Film ini adalah hasil kolaborasi PFN dengan Rekam Films, bergenre komedi romantis, dan digarap oleh Yuda Kurniawan.
Menuju Pelaminan juga dibintangi deretan aktor dan aktris yang hebat, di antaranya ada Bhisma Mulia, Maizura, Cut Mini, Derry Oktami, Whani Darmawan, Brilliana Arfira, Dyah Mulani, dan Susilo Nugroho.
Project Leader PFN, Dirana Sofiah mengatakan bahwa film ini bisa membantu menarik perhatian penonton lokal maupun internasional, terhadap keberagaman budaya yang ada di Indonesia.
Ini karena film ini memperlihatkan kisah yang berpusat dalam konflik tentang dua budaya yang berbenturan.
Film Menuju Pelaminan diharapkan bisa menjadi cermin yang menunjukkan kekayaan budaya di Indonesia.
Sinopsis Menuju Pelaminan:
Dalam film ini, kita mengikuti kisah cinta antara sepasang kekasih bernama Fajar dan Rahma.
Kedua orang ini berasal dari latar belakang budaya sangat yang berbeda dengan satu sama lain.
Fajar adalah orang Jawa, sementara Rahma adalah orang Minangkabau, dan perbedaan adat ini menimbulkan masalah terkait proses pernikahan mereka.
Hal ini menimbulkan berbagai macam konflik dan tantangan yang harus dihadapi Fajar dan Rahma.
Mereka berdua harus menyatukan keluarga mereka masing-masing, yang memilki adat dan budaya yang bertabrakan. (*/Armyanti)