Nasional, gemasulawesi - Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada Januari 2025 menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Kebijakan ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan bertujuan meningkatkan pendapatan negara.
Namun, banyak pihak khawatir dampaknya akan membebani perekonomian, khususnya bagi sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang menjadi penopang ekonomi Indonesia.
Kenaikan PPN dinilai dapat memengaruhi daya beli masyarakat yang hingga kini masih berjuang pulih dari dampak pandemi.
Baca Juga:
Peluru Nyasar Hantam Klinik Kecantikan di Tangerang Selatan, Polisi Temukan Bukti Mengejutkan
Harga barang dan jasa diprediksi akan meningkat, memaksa masyarakat untuk mengurangi konsumsi. Hal ini berdampak langsung pada UMKM yang sangat bergantung pada stabilitas daya beli masyarakat.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty menyampaikan pandangannya terkait rencana ini. Menurutnya, kebijakan tersebut dapat menekan keberlanjutan usaha UMKM dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
“Ketika harga barang naik, daya beli masyarakat turun, dan penjualan UMKM pun ikut terpengaruh,” ujar Evita, Kamis, 21 November 2024.
Ia juga menyoroti risiko keuangan yang mungkin dialami pelaku UMKM akibat kebijakan ini. Penurunan penjualan membuat mereka kesulitan menjaga arus kas dan stabilitas bisnis. Dalam situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, kebijakan ini dianggap tidak tepat waktu.
Baca Juga:
KPU Parigi Moutong Segera Melelang 335.904 Lembar Surat Suara untuk Pilbup yang Tidak Terpakai
Menurut Evita, ada cara lain yang lebih efektif untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani UMKM.
Salah satunya adalah dengan memperbaiki sistem administrasi perpajakan dan efisiensi anggaran pemerintah.
“Daripada menaikkan PPN, sebaiknya pemerintah fokus pada optimalisasi pendapatan negara melalui pengelolaan pajak yang lebih baik,” tegasnya.
Meskipun beberapa barang dan jasa, seperti kebutuhan pokok, pendidikan, dan layanan kesehatan, dikecualikan dari kenaikan PPN, dampaknya pada produk lokal tetap menjadi perhatian.
Baca Juga:
Amerika Serikat Dilaporkan Menjatuhkan Sanksi kepada Sejumlah Pejabat Hamas
Evita menilai, produk UMKM berpotensi kalah saing dengan produk impor yang lebih murah. Jika ini terjadi, pasar UMKM akan tergerus, mengakibatkan kesenjangan pasar semakin melebar.
Selain itu, Evita meminta pemerintah untuk mendukung UMKM dalam memperluas akses pasar domestik dan internasional. Ia menekankan pentingnya pelatihan dan digitalisasi untuk meningkatkan daya saing produk UMKM di pasar global.
“UMKM harus mampu menembus pasar digital agar tetap relevan dan kompetitif,” tambahnya.
Evita juga menyoroti program pemerintah yang memprioritaskan produk lokal, seperti dalam pengadaan makanan gratis untuk masyarakat.
Baca Juga:
Bawaslu Makassar Memasifkan Pengawasan Praktik Politik di Masa Tenang
Ia mengusulkan agar produk lokal dari UMKM menjadi komponen utama dalam program tersebut untuk memastikan perputaran ekonomi tetap terjadi di tingkat domestik.
Sebagai penutup, Evita mengingatkan bahwa Undang-Undang HPP sebenarnya memberikan fleksibilitas tarif PPN antara 5 hingga 15 persen.
Ia berharap pemerintah mempertimbangkan kembali waktu penerapan kenaikan ini dan menggunakan kewenangan untuk menyesuaikan tarif agar lebih sesuai dengan kondisi ekonomi saat ini.
“Pemerintah masih bisa menerbitkan peraturan baru yang menyesuaikan tarif PPN dengan melihat situasi masyarakat saat ini,” tutupnya. (*/Shofia)