Nasional, gemasulawesi - Pegiat media sosial, Eko Kuntadhi baru-baru ini menyampaikan ketidak setujuannya terhadap wacana kampus mengelola tambang.
Sebelumnya, wacana kampus untuk mengelola tambang kembali menjadi topik hangat setelah revisi keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) memungkinkan perguruan tinggi memperoleh wilayah izin usaha pertambangan (IUP).
Plt Sekretaris Jenderal Kemendikti Saintek, Togar Mangihut Simatupang, menyatakan bahwa pihaknya siap menjalankan kebijakan ini jika memang ditetapkan.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa Kemendikti Saintek masih berada pada posisi menunggu dan tengah mengkaji kebijakan lebih lanjut.
Menurut Togar, keterlibatan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang harus mempertimbangkan aspek teknis dan regulasi agar pelaksanaannya sesuai aturan yang berlaku.
Di sisi lain, wacana ini mendapatkan respons kritis dari pegiat media sosial, Eko Kuntadhi, yang secara tegas menyatakan ketidaksetujuannya terhadap ide kampus mengelola tambang.
Dalam cuitannya di akun X resminya @ekokuntadhi1 pada Senin, 27 Januari 2025, Eko menilai bahwa pemberian izin tambang kepada kampus hanya akan membuka peluang praktik percaloan yang melibatkan pengusaha.
Menurutnya, alih-alih memberikan izin langsung, pemerintah sebaiknya menaikkan pungutan hasil tambang hingga maksimal dan menyalurkan pendapatannya kepada kampus.
Ia menyebut langkah tersebut sebagai alternatif yang lebih efektif untuk mendukung pengembangan kampus dan program kesejahteraan lainnya.
"Ketimbang izin tambang dikasih ke Kampus. Ujungnya cuma dicaloin utk dikelola pengusaha. Mending naikkan pungutan hasil tambang sampai maksimal. Duitnya bisa disalurkan utk pengembangan kampus, riset, sekolah, UMKM, Ormas, dan program kesejahteraan lain," tulis Eko dalam cuitannya.
Ia menggarisbawahi bahwa pengelolaan tambang tidak seharusnya menjadi tanggung jawab kampus, melainkan tetap berada dalam kontrol negara melalui kebijakan yang adil dan transparan.
Lebih lanjut, Eko menambahkan bahwa dengan cara tersebut, negara tetap menjalankan fungsinya sebagai pembuat aturan dan pengelola keadilan sosial.
Ia mengkritik kebijakan yang menurutnya hanya bertujuan "membungkam kritik" dengan cara memberikan keuntungan langsung kepada berbagai pihak.
"Negara tetap jadi negara. Fungsinya embuat aturan. Mengadministrasi keadilan sosial. Bukan dengan mengajak semuanya menikmati pesta sekaligus membungkam kritik dengan 'sogokan' resmi," tulis Eko dalam lanjutan cuitannya.
Pandangan Eko ini mencerminkan kekhawatiran sejumlah pihak terhadap kemungkinan dampak negatif dari pelibatan kampus dalam sektor tambang.
Selain berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, kebijakan ini juga dinilai dapat menyimpang dari fungsi utama perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan dan penelitian.
Diskusi terkait wacana ini diperkirakan akan terus berlanjut seiring dengan kajian lebih mendalam dari pihak pemerintah. (*/Risco)