Internasional, gemasulawesi – Di tahun 1995 lalu, salah satu media terkemuka di dunia melakukan wawancara dengan warga Palestina di Gaza untuk mengetahui tentang kebebasan yang diberikan oleh Perjanjian Damai Oslo kepada mereka.
Namun, alih-alih perasaan optimis atas kegembiraan dan kemajuan, penjara adalah kata yang umum yang digunakan oleh rakyat Palestina untuk menggambarkan pengurungan mereka di Gaza.
Itu juga termasuk dengan ketidakmampuan warga Palestina di Gaza untuk pindah atau bahkan mengunjungi Tepi Barat yang diduduki.
Penutupan atau blokade yang dilakukan Israel atas Gaza telah dilakukan secara bertahap setidaknya sejak awal tahun 1990-an.
Ketika Israel berdamai dengan PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) dengan ‘satu tangan’, di tahun 1993 Israel membangun tembok pemisah di sekitar Gaza dengan tangan lainnya.
Pembatasan dan penutupan yang dilakukan Israel membuat sosiolog terkemuka Israel, Baruch Kimmerling, menyimpulkan di tahun 2003 jika Israel telah mengubah Gaza menjadi kamp konsentrasi terbesar di dunia yang pernah ada.
Israel mempertahankan kendali penuh atas udara, air dan ruang darat di Gaza serta telekomunikasi, listrik dan masuk serta keluarnya barang-barang yang sangat diperlukan setelah penarikan tersebut.
Hal ini memperburuk resesi ekonomi akibat pembatasan yang dilakukan Israel pada tahun-tahun sebelumnya, yang oleh Bank Dunia disebutkan sebagai salah satu yang terburuk dalam sejarah modern.
Menyusul kemenangan yang diperoleh oleh Hamas di Gaza tahun 2006, PM Israel saat itu, Olmert, menutup penyeberangan komersial Gaza dan menerapkan sejumlah sanksi pada Fatah termasuk menahan pendapatan pajaknya dan menyebut mereka sebagai organisasi teroris.
Tujuan blokade tersebut adalah perang ekonomi untuk memberikan hukuman kepada masyarakat secara kolektif agar mereka melawan Hamas dan mengakhiri kekuasan kelompok tersebut.
Israel bahkan merancang penghitungan kalori berdasarkan jumlah minimum impor yang diperlukan yang dikatakan untuk mencegah warga Gaza meninggal karena kelaparan.
Israel dengan sengaja mengeksploitasi kesengsaraan yang diciptakannya di Gaza untuk mendorong rakyatnya agar pindah dan meninggalkan wilayah tersebut.
Apa yang membuat hal ini lebih meresahkan adalah bahwa pengepungan Israel tidak memiliki akhir yang jelas. (*/Mey)