Internasional, gemasulawesi – Agresi yang dilakukan oleh Israel kepada Palestina kali ini menimbulkan kerusakan yang begitu parah dan juga menyebabkan lebih dari belasan ribu jiwa melayang.
Selain itu, kerugian yang ditimbulkan oleh Israel juga belum termasuk dengan banyaknya bangunan dan jalan yang runtuh serta hancur dengan ribuan lainnya masih dinyatakan hilang hingga sekarang.
Konflik yang terjadi antara Palestina dengan Israel bukanlah hal baru karena telah berlangsung selama bertahun-tahun lamanya.
Selain itu, hambatan untuk mencapai kesepakatan untuk mengakhiri konflik ini juga telah ada selama beberapa dekade sejak konflik dimulai berpuluh-puluh tahun lamanya.
Status Yerusalem, dikembalikannya pengungsi Palestina, perbatasan Israel dan Palestina di masa depan telah menjadi hambatan utama sejak awal untuk perdamaian yang diinginkan terjadi antara kedua belah pihak.
Selain itu, yang menjadi hambatan utama lainnya, yakni penggunaan kekerasan sebagai senjata politik dan distribusi air untuk Palestina yang menjadi salah satu persoalan utama untuk masyarakatnya.
Salah satu pakar yang juga direktur Y&S Nazarian Center for Israel Studies, Dov Waxman, menyebutkan jika perluasan pemukiman yang dilakukan oleh Israel selama bertahun-tahun ini benar-benar menjadi penghalang untuk perdamaian.
Menurutnya, hal ini juga karena Palestina menganggapnya sebagai tanda bahwa Israel benar-benar tidak tertarik untuk mengizinkan negara Palestina berdiri.
Di tahun 1967 dalam perang yang dinamakan Perang Enam Hari, Israel mencaplok Yerusalem Timur dan menduduki Gaza serta Tepi Barat.
Baca: Gencatan Senjata 4 Hari, Ini Nama 13 Sandera yang Dilepaskan Hamas untuk Gelombang Pertama
Di tahun 2005, Israel memutuskan untuk membongkar pemukimannya dan menarik diri dari Jalur Gaza.
Diketahui jika semua pemukiman ini menurut hukum internasional yang berlaku adalah ilegal.
Sedangkan di pihak Palestina sendiri, gerakan nasional Palestina telah terpecah sejak Hamas berdiri di tahun 1987.
Hal ini membuat posisi PLO yang dipimpin oleh Yasir Arafat melemah dimana dia mendapatkan dukungan dari kelompok Fatah.
Ketika Hamas menguasai Jalur Gaza setelah memenangkan pemilihan parlemen di tahun 2006, maka perpecahan itu semakin parah.
Selain itu, para analis mengungkapkan jika sikap Amerika Serikat dan pemerintah Arab juga mempengaruhi proses perdamaian. (*/Mey)