Nasional, gemasulawesi - Kejaksaan Agung menyatakan bahwa pihak jaksa penuntut umum telah secara resmi mengambil langkah hukum lanjutan atas putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap Thomas Trikasih Lembong, yang pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada tahun 2015 hingga 2016.
Upaya banding ini diajukan karena jaksa menilai putusan tersebut belum sepenuhnya mencerminkan rasa keadilan atau sesuai dengan tuntutan yang telah diajukan sebelumnya dalam persidangan.
"Sudah kami ajukan banding," ujar Anang Supriatna, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung.
Ia menjelaskan bahwa pengajuan banding oleh jaksa penuntut umum dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan mengenai besarnya kerugian negara dalam perkara tersebut.
Baca Juga:
Perjanjian Perdagangan Indonesia–AS: 99 Persen Produk AS Bebas Tarif Masuk
Dalam sidang pembacaan putusan, Majelis Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyampaikan hasil perhitungan terkait kerugian negara yang timbul dari perkara korupsi impor gula yang melibatkan Tom Lembong.
Menurut hakim, negara mengalami kerugian mencapai Rp194,72 miliar akibat praktik korupsi dalam kasus tersebut.
Majelis Hakim turut menegaskan bahwa selisih pembayaran bea masuk dan PDRI atas impor gula kristal putih (GKP) serta gula kristal mentah (GKM) yang mencapai Rp320,69 miliar tidak bisa serta-merta dianggap sebagai kerugian negara.
Berdasarkan pertimbangan hakim, jumlah tersebut tidak memenuhi unsur sebagai kerugian keuangan negara dalam konteks perkara yang sedang disidangkan.
Baca Juga:
Penguatan Ekosistem Digital, Meutya Hafid Bahas Kolaborasi Strategis dengan Singtel
Jaksa penuntut umum menyatakan bahwa negara mengalami kerugian sebesar Rp578,1 miliar dalam perkara ini. Terlebih lagi, pada Februari 2025, Kejaksaan Agung telah menerima pengembalian dana dari sembilan orang tersangka dalam kasus impor gula dengan total Rp565 miliar.
Jumlah tersebut telah dicantumkan dalam berkas memori banding.
Dengan mempertimbangkan hal itu, jaksa akhirnya mengajukan banding.
“Masih ada selisih. Padahal kami sudah menyita sekitar Rp500 miliar, dan itu menjadi salah satu poin dalam memori banding,” ujar Anang.
Baca Juga:
Revisi UU Sisdiknas Tegaskan Perlindungan Hukum untuk Guru
Untuk diketahui, Tom Lembong dijatuhi hukuman penjara selama 4 tahun 6 bulan karena terbukti terlibat dalam praktik korupsi.
Ia juga dikenai denda sebesar Rp750 juta, dan bila tidak dibayarkan, akan diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Tindakan yang dilakukan oleh Tom Lembong dianggap bertentangan dengan ketentuan hukum yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
Ia dinyatakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Baca Juga:
Kementerian ATR/BPN Perkuat Tata Ruang Sumatra lewat Kemitraan Strategis dengan Tiga Kampus
Selain itu, pelanggaran tersebut juga dikaitkan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yang mengatur tentang keterlibatan atau peran serta dalam melakukan suatu tindak pidana.
Dalam perkara ini, Tom Lembong diduga menyebabkan kerugian negara hingga mencapai Rp578,1 miliar.
Kerugian tersebut timbul salah satunya karena ia menerbitkan surat persetujuan impor gula kristal mentah untuk periode 2015–2016 kepada sepuluh perusahaan.
Penerbitan surat itu dilakukan tanpa melalui rapat koordinasi dengan kementerian terkait dan tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian sebagai pihak yang berwenang.
Baca Juga:
Kunci Keamanan xAI Bocor, Ditakutkan dapat Membahayakan Data Pemerintahan AS: Inilah Detail Kasusnya
Surat persetujuan impor gula kristal mentah untuk periode 2015–2016 yang diberikan kepada sejumlah pihak itu dimaksudkan agar mereka bisa mengimpor gula mentah untuk kemudian diolah menjadi gula kristal putih.
Padahal, Tom Lembong sebenarnya mengetahui bahwa perusahaan-perusahaan yang menerima persetujuan tersebut tidak memiliki hak untuk melakukan pengolahan tersebut.
Hal ini karena perusahaan-perusahaan itu merupakan pabrik gula rafinasi yang tidak diperbolehkan memproduksi gula kristal putih untuk kebutuhan konsumsi langsung.
Selain itu, Tom Lembong juga tidak menetapkan perusahaan milik negara (BUMN) sebagai pihak yang bertugas dalam pengendalian stok dan harga gula di pasaran.
Sebaliknya, ia justru menunjuk sejumlah koperasi untuk menjalankan peran tersebut.
Koperasi yang dimaksud antara lain Induk Koperasi Kartika (Inkopkar), Induk Koperasi Kepolisian Republik Indonesia (Inkoppol), Pusat Koperasi Kepolisian Republik Indonesia (Puskopol), serta Satuan Koperasi Kesejahteraan Pegawai (SKKP) dari unsur TNI dan Polri. (*/Zahra)