Magelang, gemasulawesi - Pembayaran uang ganti rugi (UGR) untuk proyek tol Jogja-Bawen baru-baru ini mencuri perhatian publik setelah kasus Maryati, seorang wanita berusia 70 tahun dari Kabupaten Magelang, viral di media sosial.
Maryati, yang merupakan nenek dari lima cucu, baru saja menerima pembayaran UGR sebesar Rp 954.740.
Jumlah yang diterima Maryati ini tentunya tidak seberapa jika dibandingkan dengan ekspektasi banyak orang terhadap proyek sebesar ini.
Maryati tinggal di Desa Bojong, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.
Lahan miliknya yang terkena dampak proyek tol terletak di Desa Pagersari.
Meskipun luas lahan yang terkena proyek tol ini hanya 0,9 meter persegi, nilai ganti ruginya mencapai hampir satu juta rupiah.
Situasi ini menjadi sorotan karena besaran uang ganti rugi yang diterima Maryati dianggap relatif kecil dibandingkan dengan nilai tanah atau dampak proyek secara keseluruhan.
Dalam wawancaranya, Maryati mengungkapkan bahwa lahan yang terkena proyek tol ini merupakan bagian kecil dari keseluruhan sawahnya yang luasnya sekitar 700 meter persegi.
"Tanah saya yang terkena hanya segini, sebesar 0,9 meter persegi," ungkap Maryati dengan nada yang tenang.
Ia mengungkap jika tanah yang terkena protek tol hanya pojokan sawahnya saja.
"Ini adalah pojokan sawah saya yang kena proyek tol. Total luas sawah saya sekitar 700 meter, tapi yang terkena hanya 0,9 meter persegi," tambahnya.
Kisah Maryati menjadi viral di media sosial karena warganet merasa jumlah pembayaran ganti rugi yang diterima tidak sebanding dengan ekspektasi mereka.
Banyak orang menganggap bahwa untuk proyek sebesar tol Jogja-Bawen, pembayaran UGR seharusnya lebih besar.
Maryati sendiri mengaku baru kali ini menerima pembayaran UGR dan menganggap bahwa jumlah tersebut cukup sesuai dengan luas tanah yang terkena proyek.
Reaksi di media sosial beragam, dengan sebagian warganet menyatakan simpati terhadap Maryati dan berharap ada penyesuaian dalam proses ganti rugi untuk memastikan keadilan bagi semua pihak yang terkena dampak proyek.
Ada juga yang mengkritik prosedur pembayaran ganti rugi yang dianggap tidak memadai.
Keresahan publik ini mengundang diskusi lebih lanjut tentang bagaimana pemerintah dan pengembang proyek dapat lebih memperhatikan dan meningkatkan proses ganti rugi untuk masyarakat.
Maryati mengakui bahwa meskipun nilai UGR yang diterimanya tidak sebesar yang diharapkan, dia tetap memahami pentingnya proyek tol ini.
Kisah Maryati menjadi contoh nyata bagaimana ukuran pembayaran ganti rugi bisa berbeda-beda tergantung pada luas lahan yang terkena proyek.
Meski nilai UGR yang diterima Maryati mungkin tidak memenuhi ekspektasi banyak orang, proses ini tetap bagian dari upaya untuk memastikan bahwa proyek pembangunan berjalan dengan lancar dan adil. (*/Shofia)