Jakarta, gemasulawesi - Pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) oleh Komisi I DPR RI dan pemerintah menuai kontroversi.
Bukan hanya karena digelar secara tertutup, tetapi juga karena lokasinya yang berada di hotel mewah, bukan di gedung DPR.
Rapat yang berlangsung sejak Jumat, 14 Maret 2025 hingga Minggu, 16 Maret 2025 di Hotel Fairmont, Jakarta, ini pun menjadi viral di media sosial.
Banyak pihak, termasuk Koalisi Masyarakat Sipil, mengecam langkah tersebut dan menuntut transparansi dalam proses legislasi ini.
Keputusan untuk menggelar rapat di hotel bintang lima menimbulkan banyak pertanyaan.
Mengingat DPR memiliki fasilitas lengkap di gedungnya sendiri, publik mempertanyakan alasan di balik pemindahan rapat ke lokasi eksklusif yang tentu saja memerlukan biaya tambahan.
Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, membela keputusan tersebut dengan alasan bahwa rapat menggunakan mekanisme konsinyering.
Menurutnya, metode ini memungkinkan pembahasan lebih intensif karena peserta dapat fokus tanpa gangguan.
Baca Juga:
Banjir dan Longsor Terjang Padangsidimpuan Sumatera Utara, 711 Jiwa Mengungsi dan 2 Orang Hilang
Namun, banyak yang tidak puas dengan penjelasan tersebut dan menilai hal ini justru semakin memperburuk citra DPR yang dianggap kurang transparan.
Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan bahwa pemilihan hotel mewah sebagai lokasi rapat semakin memperkuat dugaan bahwa proses revisi UU TNI dilakukan secara tertutup tanpa keterlibatan publik.
Mereka menilai bahwa undang-undang yang berpotensi membawa dampak besar bagi masyarakat seharusnya dibahas dengan melibatkan berbagai pihak, bukan hanya pemerintah dan legislatif.
Tak butuh waktu lama bagi kabar ini untuk menjadi viral di media sosial.
Berbagai tanggapan bermunculan, sebagian besar bernada kritik tajam terhadap keputusan DPR yang memilih hotel mewah sebagai tempat rapat.
“Gedung DPR buat apa? Apa cuma buat tidur pas sidang soal rakyat?” komentar salah seorang warganet.
Tak sedikit pula yang menyinggung soal efisiensi anggaran yang kini tengah dilakukan pemerintah.
“Rapat di hotel bintang lima, lumayan bisa markup anggaran. Salah sendiri kalau diefisiensi!” komentar warganet lainnya.
Banyak yang khawatir bahwa revisi ini bisa membawa kembali konsep dwifungsi militer yang pernah terjadi di masa lalu.
Publik mendesak agar pembahasan dilakukan secara transparan dan terbuka untuk mencegah keputusan yang merugikan masyarakat.
Salah satu poin utama yang dikhawatirkan dalam revisi UU TNI adalah adanya perluasan kewenangan militer dalam berbagai sektor kehidupan sipil.
Isu ini bukanlah hal baru, tetapi kembali mencuat karena revisi undang-undang ini dilakukan secara tertutup.
Baca Juga:
OpenAI Mendesak Pemerintah AS untuk Mengizinkan Pelatihan AI dengan Konten Berhak Cipta
Koalisi Masyarakat Sipil pun mendesak agar DPR membuka dokumen revisi UU TNI kepada publik dan memastikan bahwa tidak ada klausul yang berpotensi mengembalikan peran militer di luar tugas pertahanan negara. (*/Shofia)