Parigi Moutong, gemasulawesi - Aktivitas pertambangan emas di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, mulai menimbulkan dampak yang signifikan terhadap ekosistem laut dan keberlangsungan usaha tambak di wilayah tersebut.
Maraknya aktivitas pertambangan emas dalam beberapa tahun terakhir telah menimbulkan kekhawatiran tidak hanya pada sektor pertanian, tetapi juga mulai merambat ke sektor kelautan dan perikanan.
Hal ini diungkapkan langsung oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Parigi Moutong, Muhammad Nasir.
Menurut Nasir, dampak dari aktivitas pertambangan emas ini sudah mulai dirasakan oleh para nelayan dan pelaku usaha tambak di berbagai wilayah. Ia menegaskan bahwa meskipun dampaknya tidak langsung terasa, namun gejala awal dari kerusakan lingkungan laut telah muncul dan sangat mengkhawatirkan.
Ekosistem pesisir yang menjadi tempat berkembang biaknya berbagai jenis ikan seperti padang lamun dan terumbu karang telah mengalami gangguan akibat sedimentasi dari daratan.
“Seluruh aktivitas di darat yang melalui media perairan akan bermuara di laut. Kondisi ini, sudah sangat meresahkan,” ujar Nasir di Parigi, Rabu, 12 Februari 2025.
Nasir menjelaskan bahwa sedimentasi yang mengalir ke laut akan menutupi permukaan tempat habitat ikan.
Padang lamun yang menjadi tempat penting bagi kehidupan biota laut secara perlahan tertutup lumpur, dan hal ini dapat berdampak panjang terhadap keberlanjutan hasil tangkapan nelayan. Bahkan, keberadaan spesies tertentu yang biasanya ditemukan di wilayah tertentu juga sudah mulai menghilang.
“Jadi sedimentasi yang mengalir dari perairan itu akan menutupi permukaan tempat habitat ikan,” jelas Nasir.
Sebagai contoh nyata, ia menyebutkan bahwa ikan nike kini sulit ditemukan di sekitar muara sungai Desa Olaya, Kecamatan Parigi. Hal ini diduga kuat berkaitan dengan aktivitas pertambangan emas yang terjadi di Desa Kayuboko dan Air Panas.
Untuk mengantisipasi ketergantungan nelayan terhadap ikan nike, pemerintah telah menyalurkan bantuan berupa kapal dan jaring agar nelayan bisa mencari alternatif sumber tangkapan di wilayah lain.
Tidak hanya nelayan, para pelaku usaha tambak pun turut merasakan dampak dari aktivitas tambang emas. Di Desa Sijoli, Kecamatan Moutong, produksi tambak yang sebelumnya mencapai 40–60 ton per hektar kini menurun drastis menjadi hanya 15–20 ton per hektar dalam tiga tahun terakhir.
Padahal, pengelolaan tambak telah dilakukan dengan metode modern dan penggunaan teknologi mulai dari pakan hingga sanitasi, namun hasil tetap menurun akibat pencemaran air.
“Begitu juga di Desa Buranga, pengusaha tambak di sana juga mengeluhkan penurunan produksi dalam kurun waktu tiga tahun terakhir,” ungkapnya.
Nasir menekankan bahwa upaya untuk meminimalisir dampak dari pertambangan emas ilegal terhadap sektor kelautan dan perikanan tidak bisa dilakukan hanya oleh Dinas Kelautan dan Perikanan.
Diperlukan kerja sama lintas sektor dan keterlibatan aktif dari seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, seperti Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP), serta Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP).