Nasional, gemasulawesi – Belakangan ini fatwa baru MUI yang melarang umat Islam mengucapkan salam agama lain menjadi sorotan.
Dalam tanggapannya terhadap polemik yang muncul akibat Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai larangan salam lintas agama, Guru Besar Hukum Islam UIN Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie, menekankan pentingnya memahami dua ranah yang berbeda dalam konteks ini, yakni ranah internal umat beragama dan ranah eksternal atau antarumat beragama.
Menurut Profesor Tholabi, fatwa MUI tersebut ditujukan untuk internal umat Islam dan seharusnya ditempatkan dalam forum internal umat Islam.
Ia menegaskan bahwa fatwa tersebut tidak ditujukan dalam konteks eksternal umat Islam, sehingga tidak tepat jika dipahami dan ditempatkan dalam ruang publik.
Tholabi menjelaskan bahwa ada kalanya kaidah agama dapat diakomodasi melalui kaidah hukum, namun ada juga kaidah agama yang tidak dapat diakomodasi dalam kaidah hukum positif.
Fatwa MUI ini termasuk dalam kategori prinsip-prinsip agama yang tidak dapat diatur dalam kerangka hukum positif.
Selain itu, Tholabi mengingatkan tentang relativitas fatwa sebagai produk pemikiran hukum Islam yang tidak bersifat mutlak dan mengikat kecuali bagi mustafti atau pemohon fatwa.
Ia juga menekankan pentingnya memilah forum internum dan eksternum, di mana negara berkewajiban membangun harmoni antarumat beragama dalam forum eksternum.
Sementara forum internum adalah tempat umat beragama mengekspresikan agama dan keyakinannya.
"Harus ada pengertian bahwa akan selalu ada penafsiran yang berbeda-beda terhadap teks-teks suci. Kita semua harus bijaksana dan hormat. Janganlah kita mengklaim kebenaran mutlak atau merendahkan pendapat hukum tertentu," pinta Tholabi.
Tholabi menyoroti bahwa salam lintas agama harus ditempatkan pada porsi yang tepat, di mana salam lintas agama menjadi hal lazim dalam forum publik seperti forum-forum resmi lintas agama dan bukan dalam forum internal umat Islam.
Ini merupakan bagian dari upaya membangun harmoni antarumat beragama.
Pendapat Tholabi menggarisbawahi pentingnya pemahaman yang bijak dan tidak mengklaim kebenaran mutlak atau menghujat suatu pendapat hukum tertentu dalam konteks fatwa dan ekspresi keyakinan agama.
Dengan demikian, penempatan dan pemahaman terhadap fatwa MUI tentang larangan salam lintas agama harus memperhatikan konteksnya dan berupaya membangun harmoni serta penghormatan terhadap keberagaman keyakinan dan ekspresi agama. (*/Shofia)