gemasulawesi.com – Berita Terkini Indonesia Hari Ini
Berita Terupdate dan Terkini Indonesia, Sulawesi Tengah, Palu, Poso, Parigi Moutong
Babak Baru Kasus Dugaan Korupsi BLT Desa Siniu Parimo
Berita sulawesi tengah, gemasulawesi– Kasus dugaan korupsi Bantuan Langsung Tunai (BLT) di Desa Siniu Kabupaten Parimo Provinsi Sulawesi Tengah memasuki babak baru.
“Baru empat orang yang dihadirkan sebagai saksi. Yakni dua dari Pemda Parimo dan dua lagi dari warga penerima manfaat,” ungkap Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Parimo, Andi Ichlazul Amal, SH, di Pengadilan Palu, Jumat 23 Oktober 2020.
Perkara korupsi pemotongan BLT Dana Desa Siniu dengan pemotongan sebesar Rp 50 Ribu setiap bulannya oleh aparat desa memasuki babak baru.
Perkara ini telah berada pada tahap pemeriksaan saksi di Pengadilan Tipikor Palu.
Baca juga: Dugaan Korupsi BLT Siniu Parimo, Satu Orang Jadi Tersangka
Dimana perkara program dana BLT itu diperuntukkan pada masa pandemi akibat wabah Covid-19 melibatkan Kepala Desa Siniu, Gufran Ali.
Kini Kepala Desa Siniu Gufran Ali ditetapkan sebagai terdakwa perkara Tipikor dengan nomor 36/Pidsus-TPK/2020/PN Palu.
“Kadis PMD Parimo, Fit Dewana menjadi saksi dari Pemda dan Ibu Lianna M Odjobolo selaku bendahara bantuan pada BPKAD Parimo,” jelasnya.
Andi Ichlazul pria asal Sulawesi Selatan itu menjelaskan sesuai dakwaan pada sidang sebelumnya terdakwa Gufran Ali selaku kepala desa Siniu dimulai tanggal 11 Oktober 2020.
Baca juga: Dugaan Korupsi Jembatan IV Palu Sulteng, Negara Merugi Puluhan Miliar
Pengadilan Negeri Palu ditunjuk sebagai pengadilan tindak pidana korupsi dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan kekuasaanya.
“Dalam dakwaan, memaksa seseorang untuk memnberikan sesuatu atau menerima pembayaran dari penerima program BLT (Bantuan Langsung Tunai) melalui dana desa 2020 sebesar Rp 50 Ribu setiap bulannya,” urainya.
Ia mengatakan, dengan pemotongan itu untuk mengerjakan bagi dirinya sendiri. Hal itu bertentangan dengan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Tranmigrasi, nomor 6 tahun 2020.
Menurutnya, terdakwa selaku Kepala desa memanfaatkan program penyaluran BLT- Dana Desa untuk menguntungkan dirinya. Caraya, dengan memerintahkan secara lisan kepada aparat desa Siniu,
Baca juga: Miliki Sabu 2,46 Gram, Polisi Ringkus Pegawai Honorer Tolitoli
Saksi dari penyalahgunaan kekuasaan ini diantaranya saksi Rian Febrianto selaku kepala dusun I, saksi saiful selaku kepala dusun II, saksi Husen selaku kepala dusun III, dan saksi Marsin Ssi, selaku sekretaris Desa Siniu.
Alasan pemotongan, untuk melakukan pemotongan dana yang diterima penerima BLT Dana Desa sebesar Rp 50 Ribu perbulannya dengan alasan untuk biaya administrasi.
Dugaan Korupsi BLT Siniu Parimo, Satu Orang Jadi Tersangka
Sebelumnya, satu orang jadi tersangka dugaan kasus korupsi dana Bantuan Langsung Tunai atau BLT Desa Siniu Kabupaten Parimo Sulteng.
“Penetapan tersangka terkait kasus dugaan korupsi pada penyaluran dana BLT untuk penanganan wabah virus corona dari Dana Desa TA 2020 di Desa Siniu Kecamatan Siniu Parimo,” ungkap Kepala Kejari Parimo Muhamat Fahrorozi saat menggelar konfrensi pers, bersama Kasi Pidsus Muhammad Tang dan Kasi Intel Muhammad Rifaizal, Selasa 1 September 2020.
Baca juga: Tinjau Jalan Amblas Bambalemo, DPUPRP Parimo Hitung Total Kerugian
Ia mengatakan, satu orang berinisial GB jadi tersangka pada kasus dugaan penyimpangan penyaluran dana BLT di Desa Siniu Kecamatan Siniu.
Berkas perkara terkait kasus itu kata dia, adalah limpahan dari penyidik Tipikor Polres Parimo dan telah dalam tahap penelitian.
“Antara pihak Kejaksaan dan Kepolisian bersepakat memandang perkara ini bukan dari besar atau kecilnya, namun menilai pada kerugian yang diakibatkan,” urainya.
Ia menekankan, lebih kepada sikap beban dan kebutuhan warga yang terkenda dampak pandemi covid-19 saat ini.
Tindakan hukum atas oknum dimaksudkan juga kata dia, sebagai pembelajaran kepada pihak lain yang melakukan kegiatan serupa.
“Pasal yang disangkakan yaitu Pasal 12 huruf e UU No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU NO.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindakan kasus korupsi,” jelasnya.
Baca juga: Potensi Penyalahgunaan BLT Pandemi Corona
Defenisi Korupsi Menurut Undang-Undang
Definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan di dalam 13 pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Kasus Korupsi (“UU 20/2001”).
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, kasus korupsi dirumuskan dalam tiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi.
Ketigapuluh bentuk kasus korupsi itu kemudian dapat disederhanakan ke dalam tujuh kelompok besar, yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Masing-masing kelompok kemudian dapat diuraikan sebagai berikut.
- Kerugian Keuangan Negara
Sebagaimana pernah diuraikan dalam artikel UU Korupsi Menganut Kerugian Negara Dalam Arti Formil, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Komariah Emong Sapardjaja menguraikan bahwa UU Tipikor menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formal.
Unsur ‘dapat merugikan keuangan negara' seharusnya diartikan merugikan negara dalam arti langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 mengatur bahwa:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.
- Suap-menyuap
Contoh perbuatan suap dalam UU Tipikor dan perubahannya di antaranya diatur dalam Pasal 5 UU 20/2001, yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
- memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
- memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
- bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
- Penggelapan dalam Jabatan
Contoh penggelapan dalam jabatan diatur dalam Pasal 8 UU 20/2001 yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Penggelapan dalam jabatan dalam UU Tipikor dan perubahannya, merujuk kepada penggelapan dengan pemberatan, yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya (beroep) atau karena ia mendapat upah.
- Pemerasan
Pemerasan dalam UU Tipikor berbentuk tindakan:
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; atau
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
- Perbuatan Curang
Perbuatan curang dalam UU Tipikor dan perubahannya di antaranya berbentuk:
Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang di atas;
Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang di atas.
- Benturan Kepentingan dalam Pengadaan
Benturan kepentingan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah situasi di mana seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara, baik langsung maupun tidak langsung, dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
- Gratifikasi
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan:
Yang nilainya Rp10 juta atau lebih, pembuktiannya bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
Yang nilainya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum.
Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Namun, ketentuan ini tidak berlaku apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, paling lambat 30 hari sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
Laporan: Muhammad Rafii