Nasional, gemasulawesi - Rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mewajibkan asuransi kendaraan bermotor mulai Januari 2025 telah menjadi topik hangat yang memicu perdebatan luas di masyarakat dan kalangan legislator.
Kewajiban asuransi kendaraan bermotor ini, yang dirancang sebagai bagian dari implementasi Pasal 39A Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pihak ketiga dalam kasus kecelakaan lalu lintas.
Namun, kebijakan terkait asuransi kendaraan bermotor ini menuai berbagai kritik dan penolakan, terutama dari anggota Komisi V DPR RI, Suryadi Jaya Purnama.
Suryadi mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan tersebut dengan menekankan bahwa meskipun kewajiban asuransi ini bertujuan untuk menangani tanggung jawab hukum pihak ketiga, hal ini hanya fokus pada aspek kuratif dan rehabilitatif.
"Kewajiban asuransi ini, meski dirancang untuk mengatasi masalah setelah kecelakaan terjadi, tidak menyentuh aspek preventif dan promotif yang lebih luas. OJK perlu mempertimbangkan bahwa kebijakan ini tidak menyelesaikan masalah secara menyeluruh," ungkap Suryadi.
Kewajiban ini hanya akan berlaku setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) yang harus mendapatkan persetujuan dari DPR.
Suryadi menekankan mendesak OJK dan mengingatkan pentingnya merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) sebagai bagian dari solusi yang lebih komprehensif.
"Revisi UU LLAJ harus menjadi prioritas jika pemerintah serius ingin menangani masalah kecelakaan lalu lintas. Asuransi wajib saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah secara menyeluruh," tambahnya.
Selain itu, Suryadi juga menyoroti dampak ekonomi dari kebijakan ini.
Ia memperingatkan bahwa penambahan premi asuransi dapat meningkatkan beban finansial masyarakat, terutama bagi mereka yang bergantung pada kendaraan bermotor sebagai alat transportasi dan produksi.
"Kendaraan bermotor bukan hanya alat transportasi tetapi juga alat produksi bagi banyak orang. Menambahkan premi asuransi akan berdampak signifikan pada biaya hidup dan operasional kendaraan masyarakat," tegasnya.
Suryadi juga mengingatkan bahwa persetujuan DPR terhadap PP yang mengatur kewajiban ini sangat penting.
Jika PP tidak mendapat dukungan dari DPR atau jika ada penolakan besar dari masyarakat, pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan ini.
"Kebijakan ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Jika masyarakat menolak dan DPR tidak setuju, pemerintah harus meninjau kembali kebijakan ini," pungkasnya.
Di sisi lain, OJK mengklaim bahwa kewajiban asuransi ini bertujuan untuk meningkatkan perlindungan bagi pihak ketiga yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas.
Meski demikian, kritik terhadap kebijakan ini menunjukkan bahwa banyak pihak merasa pendekatan yang diambil terlalu sempit dan tidak cukup menyeluruh.
Banyak yang berpendapat bahwa solusi yang lebih holistik dan berkelanjutan diperlukan untuk menangani masalah keselamatan lalu lintas secara efektif, daripada hanya mengandalkan kewajiban asuransi sebagai langkah penyelesaian.
Diskusi ini mencerminkan kebutuhan akan pendekatan yang lebih komprehensif dalam menangani keselamatan lalu lintas dan perlindungan masyarakat. (*/Shofia)