Nasional, gemasulawesi - Sejumlah aksi unjuk rasa berlangsung serentak hari ini di berbagai kota di Indonesia.
Aksi ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap langkah DPR RI dan pemerintah yang membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui revisi Undang-Undang (UU) Pilkada.
Keputusan ini menimbulkan gelombang kekecewaan yang meluas, memicu ribuan orang turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan mereka.
Di Jakarta, pusat kekuasaan negara, ribuan massa berkumpul di sekitar Gedung DPR RI dan Istana Merdeka, menyampaikan tuntutan agar pemerintah dan DPR menghormati putusan MK.
Aksi ini diorganisir oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk Partai Buruh dan sejumlah organisasi mahasiswa.
Partai Buruh, melalui presidennya, Said Iqbal, menyerukan ribuan anggotanya untuk turut serta dalam aksi yang digelar pada Kamis, 22 Agustus 2024 ini berlangsung sejak pukul 10.00 WIB.
Mereka menolak revisi UU Pilkada yang dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap keputusan MK yang sudah bersifat final dan mengikat.
Tidak hanya di Jakarta, aksi serupa juga berlangsung di berbagai kota besar lainnya.
Berdasarkan laporan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), demonstrasi serentak digelar di 15 kota, termasuk Padang, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang.
Di Yogyakarta, massa berkumpul di Jalan Gejayan, lokasi yang sebelumnya dikenal sebagai tempat berlangsungnya unjuk rasa besar-besaran.
Di Surakarta, kampung halaman Presiden Joko Widodo, aksi berlangsung di Balai Kota dengan tema utama menolak revisi UU Pilkada yang dianggap menguntungkan pihak tertentu.
Selain mahasiswa, berbagai kelompok masyarakat lainnya juga turut ambil bagian dalam aksi ini.
Mereka mengenakan pakaian serba hitam, simbol perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap merugikan demokrasi.
Di Bandung, massa berkumpul di depan Gedung DPRD Jawa Barat, sementara di Palembang, aksi dilakukan di sekitar Monumen Perjuangan Rakyat.
Aksi massa ini dipicu oleh keputusan DPR yang dianggap mengakali putusan MK terkait syarat usia minimal calon kepala daerah dan ambang batas pencalonan.
DPR memilih untuk mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) yang kontroversial, yang menetapkan bahwa usia minimal calon kepala daerah dihitung dari tanggal pelantikan, bukan dari penetapan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Baca Juga:
Bahas Penanganan HAM Masa Lalu, Pemerintah Kota Palu Menerima Kunjungan Kerja DPR Aceh
Keputusan ini diambil dalam rapat yang berlangsung singkat, hanya beberapa menit, tanpa perdebatan berarti di antara fraksi-fraksi di DPR.
Lebih lanjut, DPR juga melakukan revisi terkait ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah.
Putusan MK yang melonggarkan threshold bagi semua partai politik peserta pemilu diubah oleh DPR menjadi pelonggaran yang hanya berlaku bagi partai politik di luar DPRD.
Sementara itu, partai politik yang memiliki kursi di parlemen tetap harus memenuhi ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah.
Keputusan ini dianggap menguntungkan partai-partai besar dan merugikan partai-partai kecil serta independen.
Gelombang aksi ini tidak hanya sekadar menolak revisi UU Pilkada, tetapi juga menjadi bentuk perlawanan terhadap berbagai kebijakan yang dinilai mengancam demokrasi dan keadilan di Indonesia.
Massa yang turun ke jalan membawa pesan kuat bahwa mereka tidak akan tinggal diam ketika hak-hak konstitusional mereka dilanggar.
Dalam aksi di berbagai kota, tampak spanduk dan poster yang mengkritik langkah DPR dan pemerintah, menuntut agar mereka tidak bermain-main dengan putusan MK yang seharusnya dihormati dan dijalankan.
Suasana aksi di berbagai daerah ini semakin memanas seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga integritas proses demokrasi di Indonesia. (*/Shofia)