Nasional, gemasulawesi - Nezar Patria, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, menegaskan bahwa Indonesia tidak seharusnya hanya berperan sebagai pengguna dalam perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Agar mampu menjaga kedaulatan digital di tengah derasnya gelombang transformasi global, Indonesia perlu membangun fondasi ekosistem digital yang kokoh.
Langkah ini mencakup penguatan riset dan pengembangan, penyediaan infrastruktur komputasi, penyusunan regulasi yang tepat, serta penyiapan sumber daya manusia digital yang berkualitas.
Menurut Nezar, langkah awal menuju kedaulatan digital adalah dengan merumuskan regulasi kecerdasan buatan yang tegas dan terarah.
Baca Juga:
Pemkab Buol Gerak Cepat Tertibkan Tambang Emas Ilegal, Dorong 30 Titik WPR Demi Tambang Rakyat Legal
Ia menekankan bahwa dalam proses penyusunan aturan tersebut, Atlas of AI perlu dijadikan sebagai rujukan utama agar kebijakan yang lahir tidak salah arah.
Pernyataan itu ia sampaikan saat berbicara dalam forum “Mencapai Seabad Indonesia Merdeka” yang digelar di Ruang Literasi Kaliurang, Yogyakarta.
“Kalau kita ingin menyusun regulasi dan kebijakan terkait AI, kita harus memahami konteks geopolitik di balik perkembangan teknologi ini. Atlas of AI sebaiknya dijadikan acuan utama dalam merumuskan aturan, agar arah pengembangan AI di Indonesia tetap berpijak pada kedaulatan,” ujar Nezar.
Nezar menyampaikan bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat bernilai strategis untuk mendukung industri chip dan pengembangan teknologi AI di tingkat global.
Baca Juga:
KPK Lantik Delapan Pegawai Baru, Dorong Kepemimpinan dan Integritas dalam Pemberantasan Korupsi
Beberapa di antaranya adalah nikel, boron, dan berbagai mineral penting lainnya.
Namun, ia menilai hingga saat ini belum ada kerangka besar atau strategi nasional yang benar-benar mampu mengarahkan potensi tersebut agar terintegrasi dalam rantai pasok ekosistem global kecerdasan buatan.
“Kita memiliki kekayaan Sumber Daya Alam dan berbagai mineral penting seperti nikel, boron, dan lainnya.
Tetapi, hingga kini belum ada rancangan besar yang mampu mengatur secara efektif bagaimana Indonesia bisa membangun posisi tawar dengan pusat-pusat pengembangan AI global, agar kita bisa ikut ambil bagian dalam ekosistem AI dunia,” terang Nezar.
Baca Juga:
Mengenal Lebih Dalam OnePlus 13s: Ponsel Mini dengan Kekuatan Luar Biasa Bak Ponsel Unggulan
Nezar menyoroti pentingnya membangun pusat riset dan klaster komputasi nasional yang solid, baik dari sisi perangkat keras, infrastruktur, maupun kapasitas pengelolaan data, agar Indonesia memiliki posisi yang lebih kuat di bidang kecerdasan buatan.
Ia mengungkapkan bahwa saat ini anggaran riset dan pengembangan Indonesia baru mencapai 0,24 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga langkah menuju kedaulatan digital masih berjalan lambat dan membutuhkan perhatian serius.
“Tanpa riset dan pengembangan, akan sulit bagi kita membangun kecerdasan buatan yang benar-benar mandiri dan menjadi milik sendiri. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan daya komputasi yang besar serta infrastruktur yang memadai. Sayangnya, kedua hal ini masih dalam tahap perencanaan,” tuturnya.
Nezar menekankan bahwa penting bagi Indonesia untuk memiliki kedaulatan dalam pengembangan kecerdasan buatan.
Sebab, sebagian besar model dasar AI saat ini dirancang oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat.
Model-model tersebut dibangun dan dilatih menggunakan data yang mencerminkan nilai-nilai budaya Barat.
Akibatnya, AI cenderung membawa serta pandangan dan norma-norma dari negara asal pembuatnya, yang belum tentu sejalan dengan konteks dan kebutuhan Indonesia.
“Akibatnya, penggunaan data yang tidak merepresentasikan keragaman global kerap menimbulkan bias, terutama bagi masyarakat di luar Amerika. Hal ini juga memicu munculnya stereotip terhadap kelompok, ras, atau bangsa tertentu dalam sistem AI. Kondisi ini memperlihatkan bahwa memang ada proses penyaringan informasi dan penyesuaian lainnya yang mengikuti kepentingan tertentu,” jelasnya.
Ia menggarisbawahi bahwa Indonesia menghadapi tiga tantangan besar dalam menjalani proses transformasi digital. Ketiganya harus segera ditangani jika Indonesia ingin mewujudkan kedaulatan di bidang digital.
Tantangan tersebut mencakup belum meratanya infrastruktur digital di berbagai wilayah, meningkatnya risiko serangan siber, serta minimnya jumlah sumber daya manusia yang memiliki keahlian di bidang teknologi digital.
Berdasarkan proyeksi, Indonesia akan membutuhkan lebih dari 12 juta talenta digital hingga tahun 2030.
Namun saat ini, jumlah tenaga terampil yang tersedia masih jauh dari cukup.
Baca Juga:
Apple Berniat Meluncurkan Serangkaian Perangkat Wearable di Masa Mendatang: Inilah Rencana Mereka
Tercatat, ada kekurangan sekitar 2,7 juta talenta digital yang belum terpenuhi. Kesenjangan ini berpotensi menjadi hambatan serius bagi kelangsungan proses transformasi digital di tanah air.
Karena itu, ia menekankan bahwa pembangunan kapasitas talenta digital merupakan kunci utama dalam mewujudkan kedaulatan digital di Indonesia.
Menurutnya, jika kualitas sumber daya manusia terus ditingkatkan, maka kendala infrastruktur yang ada saat ini dapat diatasi melalui berbagai terobosan dan inovasi di bidang teknologi digital.
“Menurut saya, pengembangan talenta digital adalah prioritas utama. Infrastruktur mungkin punya batas, tapi jika orang-orangnya kreatif, mereka bisa mengatasi keterbatasan itu. China sudah membuktikannya, begitu pula India—dengan talenta yang mumpuni, keduanya mampu melaju lebih cepat dalam mengadopsi teknologi digital,” ujar Nezar.
Nezar menegaskan bahwa transformasi digital seharusnya tidak dipahami secara terpisah-pisah menurut sektor.
Ia menilai pendekatan yang tepat adalah melihatnya sebagai satu kesatuan ekosistem yang saling berhubungan, mencakup aspek keamanan, ekonomi, pendidikan, hingga pelestarian nilai-nilai lokal.
“Jadi, aspek geopolitik, pertahanan dan keamanan, pembangunan ekonomi digital, pendidikan, kesehatan, hingga pelestarian nilai-nilai lokal semuanya merupakan bagian dari satu ekosistem yang saling berkaitan erat. Jika salah satunya diabaikan, maka bisa merusak keseimbangan keseluruhan ekosistem tersebut,” tutupnya. (*/Zahra)