Internasional, gemasulawesi – Menurut laporan, para pemukim Yahudi membakar puluhan pohon zaitun di Khalil Al-Lawz, dekat Betlehem.
Peristiwa tersebut terjadi kemarin, tanggal 15 Agustus 2024, waktu Palestina.
Hassan Breijieh, dari Komisi Perlawanan Tembok dan Pemukiman, sekelompok pemukim membakar ladang milik keluarga Al-Abayat dan Al-Mawaleh.
Puluhan pohon berharga hancur dalam kebakaran itu.
2 hari yang lalu, sekelompok pemukim mendirikan karavan di daerah yang sama, dalam upaya untuk menguasai tanah tersebut dan membangun pos pemukiman yang baru.
Banyak keluarga petani Palestina telah membudidayakan pohon zaitun selama puluhan tahun, bahkan berabad-abad dan bergantung pada hasil panen zaitun untuk mata pencaharian mereka.
Saad Dagher, yang merupakan seorang ahli agronomi Palestina di Tepi Barat mengatakan kepada wartawan Carolina S Pedrazzi tahun lalu bahwa sekitar 1 juta pohon zaitun, banyak diantaranya berusia ratusan tahun, telah dicabut oleh penjajah Israel sejak 1967.
“Mereka tidak hanya mencabut pohon-pohon itu dengan dalih bahwa mereka perlu memberi ruang untuk pemukiman atau infrastruktur pendudukan lainnya,” ujarnya.
Dia melanjutkan mereka juga mengklaim bahwa pohon zaitun melambangkan ‘ancaman keamanan’ terhadap warga penjajah Israel, sebab pohon-pohon itu merupakan tiang tempat warga Palestina bersembunyi untuk menyerang tentara.
“Itu gila,” katanya.
Di sisi lain, perang gencar penjajah Israel di Jalur Gaza telah menewaskan lebih dari 40 ribu warga Palestina, sedikitnya 16.456 diantaranya anak-anak dan lebih dari 11 ribu wanita.
Kementerian Kesehatan Gaza pada hari Kamis, tanggal 15 Agustus 2024, mengumumkan tonggak sejarah yang suram itu, suatu angka yang mungkin kurang dari angka sebenarnya sebab sebagian besar dari 10 ribu warga yang hilang diyakini terkubur di bawah puing-puing reruntuhan.
Baca Juga:
Setelah Penilaian Baru, Militer Penjajah Israel Memperluas Zona Militer Tertutup di Sekitar Gaza
“Dapatkah Anda bayangkan apa arti angka 40 ribu? Itu merupakan angka bencana yang tidak dapat dibayangkan oleh dunia,” tutur Aseel Matal, salah seorang wanita Palestina kepada media.
Dia mengatakan meskipun demikian, dunia melihat, menyadari, mendengar dan mengawasi kita setiap hari, setiap menit, namun tetap diam.
“Dan kita tidak berdaya. Kita kelelahan, kita tidak punya energi lagi,” ucapnya. (*/Mey)