Nasional, gemasulawesi - Mukhamad Misbakhun, Ketua Komisi XI DPR RI, menegaskan bahwa pemerintah daerah sebaiknya memusatkan perhatian pada pembenahan aspek mendasar dalam perekonomian.
Ia menilai, langkah memperkuat tata kelola menjadi salah satu faktor penting untuk mendorong peningkatan produktivitas di daerah.
Menurutnya, upaya tersebut lebih efektif dibandingkan memilih cara instan seperti menambah pungutan atau menaikkan pajak daerah.
Misbakhun mengingatkan, kebijakan yang terburu-buru menaikkan beban pajak justru akan menyulitkan masyarakat.
Baca Juga:
OJK Dorong Literasi Keuangan Inklusif, 59 Juta Pelajar Miliki Tabungan Simpel
Misbakhun, saat ditemui di Jakarta pada Kamis, menyoroti perlunya perubahan pola pikir dalam pengelolaan keuangan daerah.
Ia menilai, kebiasaan lama yang semata-mata bertumpu pada kenaikan pajak atau retribusi tidak lagi relevan.
Apalagi, langkah tersebut sering dilakukan tanpa diiringi peningkatan nyata pada kualitas layanan publik.
Pendekatan tersebut dianggap justru merugikan iklim bisnis dan mengabaikan rasa keadilan yang semestinya menjadi perhatian utama pemerintah.
Menurutnya, kemandirian daerah seharusnya dicapai melalui inovasi dan peningkatan efektivitas pemerintahan, bukan dengan menambah beban warga.
“Kemandirian sebuah daerah memang penting, tapi caranya bukan dengan membebani masyarakat. Aktivitas ekonomi harus dipermudah, birokrasi dijalankan secara efisien, dan pelayanan publik berkualitas. Jika pemerintah mendukung warganya agar produktif, pendapatan daerah akan meningkat secara alami tanpa pungutan berlebihan,” ujar Misbakhun.
Ia menyampaikan bahwa ada dua strategi utama yang saling berkaitan untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Strategi pertama adalah melalui efisiensi dalam belanja daerah.
Hal ini penting karena anggaran daerah perlu digunakan secara hati-hati.
Prioritas harus diberikan pada program yang mampu memberikan efek pengganda bagi perekonomian lokal.
Sebab, selama ini belanja daerah yang tercantum dalam APBD rata-rata lebih dari 50 persen digunakan untuk belanja pegawai.
Pendekatan ini diharapkan dapat memaksimalkan dampak ekonomi dari setiap rupiah yang dikeluarkan pemerintah daerah.
Kondisi saat ini membuat ruang fiskal untuk belanja modal dan pembangunan menjadi sangat terbatas.
Menurut Misbakhun, idealnya porsi belanja pegawai ditekan hingga 30 persen.
Hal ini sejalan dengan rencana pemerintah pada 2027 yang akan menetapkan batas maksimal belanja pegawai daerah sebesar 30 persen dari total APBD, berdasarkan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Tahun 2025 masih menjadi masa transisi untuk menyesuaikan porsi tersebut.
Langkah ini bertujuan agar daerah memiliki kapasitas fiskal cukup untuk pembangunan tanpa terlalu bergantung pada transfer dari pemerintah pusat.
Pendekatan kedua menekankan efektivitas pelayanan publik, dengan fokus pada penyederhanaan perizinan, penyediaan infrastruktur dasar yang handal, serta membangun ekosistem yang mendukung dunia usaha.
Misbakhun menambahkan, ketika masyarakat merasakan kemudahan dalam menjalankan usaha dan kegiatan ekonomi, kesadaran membayar pajak serta retribusi daerah akan muncul secara alami.
"Inilah esensi hubungan saling menguntungkan antara pemerintah dan rakyat," ujarnya.
Baca Juga:
Rencana Evakuasi Warga Gaza Dinilai Berisiko Ganggu Perjuangan Palestina, DPR Minta Hati-hati
Jika pemerintah memberikan layanan yang baik, ekonomi masyarakat akan berkembang, dan pendapatan asli daerah (PAD) pun akan meningkat secara sehat dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, baik strategi efisiensi belanja maupun efektivitas pelayanan publik bertujuan sama: memperbaiki tata kelola untuk mendorong produktivitas ekonomi daerah.
Tujuannya bukan sekadar meningkatkan angka pendapatan, tetapi membangun ekosistem ekonomi daerah yang kuat, mandiri, dan mampu menyejahterakan masyarakat secara adil, jelas Misbakhun. (*/Zahra)