Nasional, gemasulawesi - Komisi Pemberantasan Korupsi mulai memeriksa sejumlah aparatur sipil negara yang bertugas di Direktorat Jenderal Imigrasi.
Pemanggilan tersebut dilakukan dalam kapasitas mereka sebagai saksi dalam penyelidikan dugaan pemerasan.
Kasus ini berkaitan dengan proses pengurusan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) yang berlangsung di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan.
"Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK terhadap AGP, ASN yang bertugas di bagian Visa Ditjen Imigrasi Kementerian Imipas," kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo.
Baca Juga:
Kenneth Desak Food Station Transparan soal Kualitas Beras dan Minta Audit Internal Dilakukan
Selain AGP, Budi menyampaikan bahwa penyidik KPK juga memanggil dua saksi lain yang berasal dari PT Batara Sukses Maju, yakni LNA selaku direktur dan MRD yang menjabat sebagai komisaris.
Angga Prasetya Ali Saputra, yang dikenal dengan inisial AGP, adalah aparatur sipil negara yang bertugas di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Imipas.
Seorang ASN yang disebut merupakan Kepala Seksi Pemeriksaan II di Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Tempat Pemeriksaan Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, juga ikut diperiksa.
Dalam proses penyidikan perkara ini, Komisi Pemberantasan Korupsi pada Senin (28/7) turut memanggil dua saksi dari kalangan swasta dengan inisial IA dan AS.
Baca Juga:
Sinergi TNI, Kemenhan, dan BPOM untuk Produksi Obat Terjangkau
Lalu pada Selasa (29/7), lembaga antirasuah itu kembali menjadwalkan pemeriksaan terhadap tiga saksi, yakni seorang guru berinisial SFZ serta dua individu dari pihak swasta berinisial GP dan BT.
Sebelumnya, tepatnya pada 5 Juni 2025, KPK secara resmi merilis identitas delapan tersangka dalam perkara dugaan pemerasan terkait proses pengurusan RPTKA di Kementerian Ketenagakerjaan.
Delapan tersangka tersebut merupakan ASN di lingkungan Kemenaker, yaitu Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Menurut penelusuran KPK, selama periode 2019 hingga 2024, para pelaku diduga berhasil menghimpun dana sebesar Rp53,7 miliar melalui praktik pemerasan dalam proses pengurusan RPTKA.
Baca Juga:
Rumah-Rumah Palestina di Daerah Wadi Ubayyan Tenggara Bethlehem Diserang Penjajah Israel
Sebagai informasi, RPTKA adalah salah satu dokumen yang wajib dimiliki tenaga kerja asing untuk bisa bekerja secara legal di Indonesia.
Jika dokumen tersebut tidak dikeluarkan oleh Kemenaker, maka proses penerbitan izin kerja maupun izin tinggal akan terganggu.
Hal ini membuat para pemohon RPTKA merasa terdesak hingga akhirnya menyerahkan sejumlah uang kepada pihak-pihak yang terlibat.
KPK juga menyinggung bahwa dugaan praktik pemerasan ini telah berlangsung sejak masa kepemimpinan Abdul Muhaimin Iskandar sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi periode 2009–2014, kemudian berlanjut di era Hanif Dhakiri (2014–2019), hingga masa jabatan Ida Fauziyah pada 2019–2024.
Baca Juga:
Polresta Tangerang Tindaklanjuti Konflik Ojek Pangkalan dan Taksi Online di Stasiun Tigaraksa
Sebanyak delapan tersangka dalam kasus ini pun telah resmi ditahan oleh KPK. Penahanan dilakukan dalam dua tahap, yakni empat orang pada 17 Juli 2025, dan sisanya pada 24 Juli 2025. (*/Zahra)