Nasional, gemasulawesi - Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjatuhkan hukuman yang lebih berat kepada Budi Sylvana, mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan di Kementerian Kesehatan.
Vonis terhadap Budi diperberat dari yang semula tiga tahun penjara menjadi empat tahun penjara.
Perkara ini berkaitan dengan dugaan korupsi dalam pengadaan alat pelindung diri (APD) untuk penanganan COVID-19.
Kasus tersebut terjadi pada tahun 2020 saat Budi masih menjabat di lingkungan Kemenkes.
Baca Juga:
Presiden Prabowo Tetapkan Tunjangan Khusus untuk Dokter di Daerah Terpencil Melalui Perpres 81/2025
Hakim Ketua Tahsin menyampaikan bahwa Majelis Hakim menilai Budi sebetulnya telah mengetahui adanya temuan sejak awal audit Tahap I dan II.
Meski demikian, Budi tidak mengambil langkah untuk menghentikan kontrak yang bermasalah tersebut.
Kelalaian itu dinilai sebagai penyebab membengkaknya kerugian negara akibat kontrak yang terus berjalan.
"Oleh karena itu, Majelis Hakim di tingkat banding memiliki pandangan yang berbeda dengan majelis hakim pengadilan sebelumnya terkait besaran hukuman penjara yang dijatuhkan," ujar Hakim Ketua.
Di samping hukuman penjara, Hakim Ketua turut menyampaikan bahwa majelis hakim banding memiliki pandangan berbeda terhadap putusan denda yang diberikan kepada Budi.
Perbedaan pendapat itu muncul karena majelis hakim banding menilai besaran denda yang dijatuhkan sebelumnya masih belum proporsional.
Menurut mereka, jumlah denda tersebut terlalu rendah apabila dibandingkan dengan besarnya kerugian negara yang terjadi akibat perkara ini.
Kerugian negara dalam kasus ini tercatat mencapai Rp319,69 miliar, sehingga majelis hakim merasa perlu adanya pertimbangan yang lebih adil dalam menjatuhkan denda.
Baca Juga:
Relokasi Pedagang Pasar Hewan Barito: Upaya Penataan Ruang Hijau Jakarta
Akibat perbedaan pandangan tersebut, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutuskan untuk menaikkan besaran denda yang dijatuhkan kepada Budi.
Dalam putusan terbaru, jumlah dendanya ditetapkan menjadi Rp200 juta, lebih besar dari vonis sebelumnya.
Majelis hakim juga menyampaikan adanya sanksi tambahan jika Budi tidak membayar denda tersebut sesuai ketentuan yang ditetapkan.
Jika denda tidak dilunasi, maka akan digantikan dengan hukuman kurungan selama empat bulan sebagai pidana subsider.
Baca Juga:
Pemerintah Tegaskan Tak Ada Instruksi Penarikan Beras Premium, Hanya Penyesuaian Harga
Sebelumnya, Budi dijatuhi hukuman denda senilai Rp100 juta dengan ancaman pidana kurungan selama dua bulan apabila denda tersebut tidak dibayar.
Terkait dengan hukuman tambahan berupa uang pengganti, Hakim Ketua mengungkapkan bahwa Majelis Hakim di tingkat banding sepakat dengan keputusan Pengadilan Tingkat Pertama yang menyatakan bahwa Budi tidak perlu dibebankan membayar uang pengganti.
"Hal tersebut diputuskan karena selama persidangan tidak ditemukan bukti bahwa Budi menikmati hasil dari tindak pidana korupsi," jelas Hakim Ketua dalam putusannya.
Majelis Hakim menegaskan bahwa perbuatan Budi terbukti melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca Juga:
Polisi Selidiki Penemuan Jasad Bayi dalam Karung di Lubang Buaya
Dalam perkara pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 ini, Budi disebut melakukan korupsi bersama-sama dengan Ahmad Taufik, Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM), dan Satrio Wibowo, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI). Akibat perbuatan ketiganya, negara mengalami kerugian sekitar Rp319,69 miliar.
Kerugian negara tersebut antara lain berasal dari keuntungan yang dinikmati Satrio sebesar Rp59,98 miliar, Ahmad sebesar Rp224,19 miliar, PT Yoon Shin Jaya sekitar Rp25,25 miliar, serta PT GA Indonesia yang menerima Rp14,62 miliar.
Ketiganya juga disebut terlibat dalam proses negosiasi harga untuk 170 ribu pasang APD tanpa disertai surat pesanan.
Mereka juga menegosiasikan harga dan menandatangani pemesanan lima juta pasang APD, serta menerima pinjaman dana sebesar Rp10 miliar dari BNPB untuk membayar pembelian 170 ribu pasang APD tersebut tanpa dokumen resmi.
Baca Juga:
Mari Mengenal Kacamata AR dari Rokid Ini, Menyempurnakan secara Halus Pengalaman Realitas Tertambah
Tak hanya itu, Budi bersama Ahmad dan Satrio turut menerima pembayaran senilai Rp711,28 miliar untuk penyediaan 1,01 juta pasang APD merek BOHO yang dilakukan oleh PT PPM dan PT EKI.
Padahal, PT EKI tidak memiliki kualifikasi sebagai penyedia barang atau jasa di lingkungan pemerintah dan juga tidak memiliki izin penyalur alat kesehatan (IPAK).
Selain tidak memenuhi syarat administratif, PT EKI dan PT PPM juga tidak menyerahkan dokumen pendukung yang menunjukkan kewajaran harga kepada pejabat pembuat komitmen (PPK).
Hal ini dianggap melanggar prinsip-prinsip pengadaan barang/jasa dalam situasi darurat yang harus mengedepankan asas efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas. (*/Zahra)