Nasional, gemasulawesi - Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai, pembenahan sistem transportasi umum di Jakarta dapat menjadi contoh bagi daerah lain.
Salah satu hal yang bisa diambil sebagai pelajaran adalah penerapan kebijakan transportasi umum yang berjalan secara konsisten.
Kebijakan berkesinambungan ini dianggap penting untuk menciptakan layanan transportasi yang efektif dan berkelanjutan.
“Kunci utamanya ada pada kesinambungan. Butuh waktu lebih dari sepuluh tahun bagi kebijakan transportasi untuk menunjukkan hasilnya,” ujar Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat, Djoko Setijowarno.
Baca Juga:
CekSumber, Layanan Chatbot AI di WhatsApp untuk Lawan Hoaks dan Verifikasi Informasi
Di Jakarta, sistem transportasi telah terhubung secara terpadu antara layanan mikrotrans, bus, dan kereta, disertai kerja sama lintas wilayah.
Ia menyampaikan bahwa keberadaan layanan angkutan umum, seperti Transjakarta yang beroperasi 24 jam, merupakan salah satu pencapaian penting.
Selain itu, trotoar yang ramah pejalan kaki dan penerapan integrasi tarif antarmoda juga lahir dari kesinambungan kebijakan lintas kepemimpinan.
Pada masa kepemimpinan Gubernur Sutiyoso (2004–2007), Jakarta memulai babak baru transportasi publik dengan peluncuran Transjakarta koridor 1.
Sistem ini menjadi Bus Rapid Transit (BRT) pertama yang hadir di kawasan Asia Tenggara.
Langkah tersebut menjadi tonggak penting dalam sejarah transportasi Ibu Kota.
Sutiyoso tidak hanya menghadirkan layanan baru, tetapi juga menata arah kebijakan transportasi secara lebih terstruktur.
Ia menetapkan landasan hukum melalui Pola Transportasi Makro (PTM), yang berfungsi sebagai cetak biru dan menjadi DNA pengembangan transportasi Jakarta di tahun-tahun berikutnya.
“Kalau tidak ada langkah berani ini, Jakarta bisa saja tetap terjebak dalam kemacetan tanpa akhir,” ujar Djoko.
Pada masa kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo (2007–2012), Transjakarta mengalami perubahan signifikan dalam struktur kelembagaannya.
Perubahan tersebut menjadikan Transjakarta berstatus sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), sehingga operasionalnya memiliki fleksibilitas yang lebih besar.
Saat masa kepemimpinan Gubernur Joko Widodo (2012–2014), diterbitkan Peraturan Daerah Penyelenggaraan BRT yang memastikan tersedianya alokasi anggaran jangka panjang.
Baca Juga:
Penyesuaian Transfer ke Daerah 2026: Peluang Perkuat Sinergi dan Kemandirian Fiskal Daerah
Kebijakan ini diikuti dengan peremajaan armada serta penerapan sistem kontrak operator berbasis Service Level Agreement (SLA) sebagai standar operasional baru.
Perbaikan juga dilakukan pada fasilitas pejalan kaki, termasuk penataan trotoar dan jalur sepeda, serta penyediaan bangku di sejumlah titik untuk tempat beristirahat.
Di periode ini pula dimulai pembangunan MRT Jakarta tahap pertama rute Lebak Bulus hingga Bundaran HI sepanjang 15,8 kilometer.
Sementara itu, di era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (2014–2017), dilakukan integrasi angkutan kota ke dalam sistem BRT sebagai layanan pengumpan (feeder).
“Kebijakan ini menghubungkan angkutan kecil dengan moda transportasi massal, sekaligus memperluas jangkauan layanan bagi warga di kawasan pinggiran. Selain itu, sepeda motor dilarang melintas di Jalan Jenderal Sudirman dan Thamrin,” jelas Djoko.
Periode ini, Transjakarta berhasil membangun 13 koridor, dengan jaringan BRT yang membentang dari Taman Mini hingga Kalideres, serta dari Lebak Bulus sampai Pulogadung.
Memasuki masa kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan (2017–2022), wajah transportasi Ibu Kota semakin berubah.
Trotoar diperluas hingga 500 kilometer, jalur sepeda permanen menghubungkan berbagai titik strategis di pusat kota, dan kawasan integrasi antarmoda—seperti Bundaran HI, CSW, dan Dukuh Atas—disulap menjadi ruang publik yang nyaman. Puncaknya adalah hadirnya layanan terpadu JakLingko yang menyatukan MRT, LRT, TransJakarta, dan KRL dalam satu kartu pembayaran.
Baca Juga:
Pertamina Perkuat Armada Tangki untuk Pastikan Ketersediaan BBM di Labuan Bajo
Kemudian, di bawah Penjabat Gubernur Heru Budi dan dilanjutkan oleh Gubernur Pramono Anung, fokus beralih pada penyatuan ekosistem transportasi Jabodetabek.
Langkah ini diiringi integrasi tarif regional melalui kartu JakLingko, yang memotong biaya dan waktu perpindahan antarmoda.
Pemerintah juga memberikan insentif fiskal bagi daerah penyangga yang mengembangkan BRT feeder, serta membebaskan biaya bus Transjakarta untuk 15 kategori warga Jakarta.
“Hasil dari kebijakan tersebut terlihat jelas. Jumlah kendaraan pribadi yang masuk Jakarta berkurang hingga 18 persen pada periode 2023–2025, waktu tempuh Bekasi–Jakarta berkurang sekitar 40 menit, dan layanan angkutan umum kini menjangkau 89,5 persen wilayah kota,” ungkap Djoko.
Baca Juga:
Polda Sumsel Latih 180 Personel Hadapi Karhutla Jelang Musim Kemarau
Ia menambahkan, Jakarta tidak lagi menyandang predikat kota termacet di Indonesia.
Menurut Indeks Lalu Lintas TomTom 2024, posisi Jakarta saat ini berada di urutan kelima secara nasional dan peringkat ke-90 di tingkat global.
Djoko menekankan bahwa keberhasilan ini bukanlah sesuatu yang datang begitu saja, melainkan hasil dari transformasi menyeluruh yang telah dijalankan secara konsisten sejak 2004.
Ia menambahkan, “Kota tidak pernah gagal membangun transportasi umum karena kekurangan dana, tetapi karena kurangnya keberanian untuk meneruskan langkah tersebut.” (*/Zahra)