Nasional, gemasulawesi - Kementerian Agama (Kemenag) telah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2025.
Aturan ini berisi pedoman dalam menentukan jumlah kebutuhan jabatan fungsional penyuluh agama di seluruh Indonesia.
Perhitungan kebutuhan tersebut didasarkan pada beban kerja penyuluh, kondisi masyarakat yang dilayani, serta ciri khas wilayah binaan masing-masing.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Abu Rokhmad, menyampaikan bahwa penerapan peraturan ini merupakan langkah nyata dalam reformasi birokrasi yang berlandaskan data dan kinerja.
Baca Juga:
Menlu RI Tegaskan Komitmen ASEAN Jaga Asia Tenggara Bebas Nuklir
“Kami ingin memastikan keberadaan penyuluh agama benar-benar sesuai kebutuhan dan tepat sasaran. Bukan semata-mata mengikuti jumlah penduduk, tetapi mempertimbangkan beban kerja riil yang mereka hadapi di lapangan,” ungkapnya.
Abu menjelaskan bahwa penyuluh agama memiliki peran penting sebagai garda terdepan dalam membina masyarakat di tingkat paling bawah. Karena itu, kebutuhan dan keberadaan mereka perlu dihitung secara objektif, terukur, dan merata di seluruh daerah.
“Sebelumnya belum ada standar acuan nasional yang seragam. Sekarang, semua wilayah bisa menggunakan alat ukur yang sama,” tegasnya.
Kehadiran regulasi ini turut memperkuat posisi Kementerian Agama sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam pembinaan jabatan fungsional penyuluh agama.
Baca Juga:
Capaian PTSL Sulawesi Tengah 2025 Tembus 95 Persen, Wamen ATR Serahkan Sertipikat di Donggala
Abu menegaskan bahwa aturan ini memungkinkan Kemenag untuk lebih akurat dalam menentukan formasi, pemerataan penempatan, serta pengembangan karier bagi penyuluh agama yang berstatus PNS.
Abu menekankan bahwa peran penyuluh agama tidak sekadar menyampaikan ajaran keagamaan. Mereka juga bertugas mendampingi masyarakat secara sosial, membina keluarga, mencegah konflik, serta menjadi penengah dalam persoalan keagamaan maupun pembangunan.
Maka dari itu, jumlah dan kualifikasi penyuluh harus mencerminkan kompleksitas masalah umat yang mereka hadapi di berbagai wilayah.
Ia menambahkan bahwa hadirnya regulasi ini juga bertujuan untuk memperkecil ketimpangan jumlah penyuluh antara satu daerah dengan daerah lain, seperti antara kota dan desa, maupun wilayah yang memiliki komposisi keagamaan yang berbeda.
Baca Juga:
Gus Ipul Paparkan Capaian dan Usulan Tambahan Anggaran Kemensos di Rapat Kerja Bersama DPR
Dengan pendekatan berbasis beban kerja dan standar kemampuan rata-rata, kebutuhan penyuluh kini dapat dihitung secara lebih objektif.
Menurutnya, kontribusi para penyuluh akan semakin diakui secara kelembagaan maupun secara individu, seiring dengan diberlakukannya jenjang karier berbasis pada capaian kerja.
“Setiap tingkat jabatan memiliki peran masing-masing, dan semuanya diukur secara terstruktur,” jelasnya.
Abu menjabarkan bahwa penghitungan kebutuhan penyuluh dirancang untuk jangka lima tahunan, dan diperbarui setiap tahun.
Proses tersebut melibatkan Kantor Wilayah Kemenag di daerah, yang akan mengusulkan formasi berdasarkan situasi riil di lapangan. Ia menegaskan, “Ini bukan sekadar soal angka, melainkan tentang bagaimana kehadiran negara melalui peran penyuluh agama bisa benar-benar dirasakan.
Karena itu, kami dorong semua pihak di daerah agar serius dalam menerapkan pedoman ini.”
Di sisi lain, Direktur Penerangan Agama Islam, Ahmad Zayadi, menjelaskan bahwa metode perhitungan kebutuhan penyuluh dilakukan dengan pendekatan yang logis dan berbasis teknis.
“Kami menggunakan rumus: kontribusi dikalikan volume beban kerja, lalu dibagi dengan standar kemampuan rata-rata (SKR),” ungkapnya.
Baca Juga:
Kemenag Dorong Pemberdayaan Masjid dengan Bantuan Dana Maksimal Rp100 Juta
Ia menerangkan bahwa SKR mencerminkan kemampuan rata-rata seorang penyuluh dalam menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu kerja efektif satu tahun.
Nilai SKR dihitung dari norma waktu untuk setiap jenis tugas, yang berbeda-beda sesuai jenjang jabatan penyuluh, mulai dari ahli pertama sampai ahli utama.
Volume pekerjaan penyuluh ditentukan oleh indikator yang sangat spesifik, seperti jumlah umat yang dibina, beragamnya isu keagamaan yang dihadapi, serta kondisi geografis wilayah kerja.
“Semakin luas dan kompleks wilayah binaan, maka makin besar pula kebutuhan akan penyuluh,” jelasnya.
Baca Juga:
Membangun Kedaulatan Digital: Indonesia Harus Ambil Peran Aktif dalam Ekosistem AI
Zayadi juga menyampaikan bahwa sasaran program pembinaan difokuskan pada kelompok usia produktif, yakni usia 5 hingga 50 tahun, karena dianggap sebagai kelompok paling strategis dalam membangun karakter dan pemahaman keagamaan.
“Kami menggunakan pendekatan usia sasaran yang sesuai dengan tantangan saat ini,” katanya.
Ia menambahkan bahwa setiap jenis kegiatan penyuluhan memiliki bobot kontribusi yang berbeda sesuai dengan jenjang jabatan.
Sebagai contoh, pada jenjang pertama, pelaksanaan bimbingan agama menyumbang 50% kontribusi kerja, sedangkan di jenjang utama, pengembangan metode hanya menyumbang 5%.
Baca Juga:
Aceh Barat Disarankan Segera Ajukan Sekolah Rakyat, Kemensos Targetkan 200 Lokasi
“Hal ini menunjukkan bahwa pembagian tugas antarjenjang dibuat realistis dan seimbang,” terangnya.
Zayadi memastikan bahwa seluruh hasil perhitungan dari daerah akan divalidasi terlebih dahulu oleh Direktorat Jenderal sebelum diajukan ke Menteri Agama dan diteruskan ke Kementerian PAN-RB.
“Semua dilakukan secara bertahap dan berbasis data yang jelas. Kami pastikan bahwa formasi yang diusulkan benar-benar sesuai kebutuhan lapangan, bukan sekadar formalitas administratif,” pungkasnya. (*/Zahra)